Ikatan Apoteker Indonesia Beberkan Penyebab Obat Kerap Langka dan Mahal di Indonesia

Photo Author
- Kamis, 27 November 2025 | 19:10 WIB
Ilustrasi obat di apotek (foto: Farmasi Asia)
Ilustrasi obat di apotek (foto: Farmasi Asia)

Krjogja.com - Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengungkapkan sejumlah faktor yang membuat obat di Indonesia kerap langka dan berharga tinggi.

"Saya rasa di sini Kementerian Kesehatan hampir setiap hari mendapat keluhan, obatnya kosong terus. Benarkah obatnya kosong?" tutur Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat IAI Audrey Clarissa dalam sesi pembahasan Rapat Panja Jaminan Kesehatan Nasional dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (26/11).

Baca Juga: Operasi Zebra Progo di Bantul Jaring 1.090 Pelanggar, Pengendara Bawah Umur hingga Pelat Palsu Dominan

Menurut Audrey, isu obat di Indonesia dapat dilihat melalui aspek utama, yakni harga, standar mutu, jumlah yang tersedia, ketepatan waktu, dan lokasi pendistribusian.

IAI menegaskan bahwa persoalan bukan hanya soal ketersediaan, melainkan berbagai hambatan di tingkat implementasi. Mereka pun merinci tujuh penyebab kekosongan obat yang memicu kelangkaan dan mendorong harga menjadi tak terkendali.

Pertama, persoalan muncul karena rencana kebutuhan obat (RKO) belum disusun secara presisi. Audrey menekankan bahwa data kebutuhan obat dari Dinas Kesehatan hingga Rumah Sakit (RS) perlu tersedia secara real time supaya industri farmasi dapat menyiapkan pasokan yang tepat.

Baca Juga: Minat Baca Menurun di Era Digital, Ini Penjelasan Pakar UGM

Kedua, persoalan lain muncul dari kinerja sistem e-katalog yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Menurutnya, meskipun pemenang tender biasanya ditentukan berdasarkan harga termurah, realisasinya obat tersebut kerap tidak dibeli.

"Siapa pun yang ada di daerah, perusahaan farmasi mana pun yang bukan pemenang, boleh menjual obat dan boleh dibeli oleh RS atau satker (satuan kerja) BPJS untuk menggunakan produk tersebut. Catatannya, harga harus sama, bahkan lebih murah," jelas Audrey.

Ketiga, ia menilai mekanisme pembayaran masih bermasalah, terutama karena keterlambatan yang berulang. Sejumlah distributor bahkan sampai dipanggil rumah sakit besar yang mengaku tidak mampu melunasi pembelian obat.

Keempat, ketiadaan data real time masih menjadi persoalan. Menurut IAI, data ini dibutuhkan untuk memastikan ketersediaan obat sekaligus memotret kecenderungan penyakit dalam populasi.

Kelima, peningkatan level pengaturan turut membebani proses produksi. Audrey menekankan bahwa standar praktik produksi obat yang baik menuntut persyaratan lebih tinggi, proses inspeksi yang lebih intensif, serta konsekuensi biaya yang meningkat.

Keenam, IAI menyampaikan bahwa penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) justru menambah tekanan pada harga obat. Menurut Audrey, kondisi ini berakar pada volume produksi industri farmasi nasional yang belum mampu bersaing dengan pemain besar.

Ketujuh, Audrey menggarisbawahi permasalahan distribusi sumber daya manusia (SDM) yang belum maksimal. Ia menguraikan dari 10.212 Puskesmas, masih ada 2.438 yang tidak memiliki apoteker.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Akademisi Desak Pemerintah Tegas Atur Kental Manis

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB

Lego Jadi Terapi Relaksasi untuk Orang Dewasa

Rabu, 26 November 2025 | 15:35 WIB
X