HINGGA saat ini hipertensi atau tekanan darah tinggi masih merupakan penyebab utama kematian di dunia. Prevalensi yang cukup tinggi membuat hipertensi harus mendapatkan perhatian lebih karena dapat menyebabkan komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal. Belum lagi hipertensi biasanya muncul tanpa gejala.
Secara umum, seseorang dikatakan terkena hipertensi bila angka pengukuran tekanan darah di bagian sistolik (atas) melebihi 140 mmHg dan di bagian diastolik (bawah) melebihi 90 mmHg. Untuk mengendalikan tekanan darah, biasanya mengonsumsi paling tidak 2 jenis obat secara rutin. Namun masalahnya hipertensi terkadang tidak terdeteksi sehingga memerlukan pemeriksaan berkala.
Selama ini, banyak orang yang menganggap bila hipertensi membuat seseorang menjadi mudah marah. Tapi nyatanya tidak demikian.
"Bukan berarti orang yang suka marah-marah terkena hipertensi. Tapi memang hipertensi memengaruhi kondisi psikologis," ungkap dr Bambang Widyantoro, Sp.JP, PhD saat ditemui Okezone dalam sebuah acara di kawasan Senayan, Jakarta Pusat belum lama ini.
Dijelaskan oleh dr Bambang, ada penelitian di luar negeri yang menyatakan bahwa tekanan darah tinggi dalam jangka waktu panjang berkaitan dengan tingkat depresi. Seperti yang diketahui, ketika seseorang mengalami depresi maka suasana hatinya dapat berubah-ubah. Hal ini pula yang memicu orang tersebut mudah marah.
Selain itu, tekanan darah tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya depresi dan gangguan kecemasan. Oleh karenanya, konsultasi ke ahli kejiwaan diperlukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
"Tentu kalau sudah sampai gangguan psikis yang berat itu harus berkonsultasi dengan ahlinya jadi ke dokter spesialis kejiwaan atau psikiater. Ini juga jangan salah paham, tidak berarti orang yang datang ke ahli itu orang gila," terang dr Bambang.
Menurutnya, gangguan kecemasan dan depresi harus dikenali sejak awal. Pasien membutuhkan konsultasi dengan ahlinya agar kondisi itu tidak berlanjut.