kesehatan-seksualitas

Mengenal Terapi Cuci Darah Perut

Senin, 10 April 2017 | 11:27 WIB

PENYAKIT ginjal kronis yang telah memasuki tahap akhir, memang membutuhkan terapi khusus. Pasien dianjurkan untuk menjalani terapi hemodialisis atau cuci darah dalam perut, maupun transplantasi ginjal.

Disebutkan oleh dr Dharmeizar, SpPD, KGH, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, saat ini terduga sekira 2,9 juta penderita Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) di Indonesia. Umumnya, pasien PGTA memiliki risiko diabetes dan hipertensi. Apabila kerusakan ginjal progresif dan tidak dapat disembuhkan, pasien perlu menjalani terapi ginjal.

"Jika ditemukan kebocoran albumin dan protein dan fungsi ginjal kurang dari 60 persen selama 3 bulan, maka sudah masuk kriteria penyakit ginjal kronik. Ada beberapa stadium PGK. Jika fungsi ginjal kurang dari 15 persen maka sudah masuk stadium akhir," terang dr Darmeizar.di Manhattan Hotel, Karet Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (8/4/2017).

Pasien PGTA rata-rata 97 persen menjalani hemodialisisataucucidarahlewat mesin, (Continuous Ambilatory Peritoneal Dialisys atau CAPD), sementara hanya tiga persen saja yang menjalani terapi cuci darah dengan CAPD. Padahal, rumah sakit yang terintegrasi dengan pelayanan hemodialisis, umumnya dapat memberikan pelayanan CAPD.

Sebetulnnya, metode ini memudahkan pasien untuk melakukan proses cuci darah di rumah. Alat yang dipakai, ditanamkan pada perut pasien untuk melakukan proses cuci darah.

?Dr Atma Gunawan, konsultan ginjal hipertensi dari CAPD Center Malang, mengatakan bahwa pasien yang menjalani hemodialisis perlu balik ke rumah sakit setidaknya 8-12 kali dalam satu bulan. Sementara untuk CAPD, pasien perlu menjalani operasi tanam alat CAPD. Mereka diajarkan untuk mengoperasikan alat tersebut untuk mengganti cairan dan lainnya. CAPD lebih cost effective karena pasien cukup melakukan kontrol satu kali selama satu bulan.

Pasien dengan penyakit ginjal kronis rata-rata 95 persen menjalani terapi dengan hemodialisis sebelum melakukan prosedur cangkok ginjal. Namun dr Atma berujar, penanganan pasien dengan terapi hemodialisis yang terlambat, angka harapan hidupnya dalam satu tahun cukup rendah, hanya 50 persen.

?"Berdasarkan analisis kematian, CAPD lebih baik dibandingkan hemodialisis dalam menurunkan angka kematian yaitu hampir dua kali lipat. Hal ini akibat kualitas hidup hidup pasien yang menjalani CAPD jauh lebih baik," tukas dr Atma. (*)

Halaman:

Tags

Terkini

Akademisi Desak Pemerintah Tegas Atur Kental Manis

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB

Lego Jadi Terapi Relaksasi untuk Orang Dewasa

Rabu, 26 November 2025 | 15:35 WIB