KRjogja.com - GANGGUAN sulit tidur atau kerap disebut insomnia, kini menjadi masalah kesehatan yang semakin sering ditemukan di tengah masyarakat modern.
Dengan tekanan hidup yang tinggi, paparan teknologi berlebihan, dan pola hidup yang tidak sehat, insomnia menjelma menjadi salah satu gangguan yang mengganggu produktivitas dan kualitas hidup jutaan orang.
Sebagai solusi cepat, banyak penderita insomnia mulai bergantung pada obat tidur. Namun ternyata hal ini bisa berisiko membawa dampak buruk untuk jangka panjang.
Menurut penjelasan dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) Kabupaten Bombana (pafibombanakab.org), insomnia bukan sekadar sulit tidur.
Ini adalah gangguan tidur yang ditandai dengan kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak bisa tidur kembali.
Bila berlangsung lebih dari tiga malam dalam seminggu selama lebih dari satu bulan, maka kondisi ini dikategorikan sebagai insomnia kronis.
Lebih lanjut, PAFI Kabupaten Bombana menginformasikan bahwa insomnia bisa menjadi gejala dari berbagai kondisi medis dan psikologis.
Stres kronis, gangguan kecemasan, depresi, gangguan hormonal, hingga konsumsi kafein dan penggunaan gadget berlebihan di malam hari, sangat berpengaruh terhadap pola tidur.
Menurut riset, kecenderungan gangguan tidur di kalangan masyarakat urban mencapai lebih dari 30 persen, dengan angka tertinggi ditemukan pada kelompok usia 25-45 tahun.
Di sisi lain, obat tidur, atau dikenal juga sebagai hipnotik dan sedatif, sering digunakan untuk mengatasi insomnia.
Beberapa jenis obat tidur ini harus digunakan menggunakan resep dokter, di antaranya yang umum adalah benzodiazepine (seperti diazepam dan lorazepam).
Jenis obat ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk memberikan efek sedatif.
Jenis obat lainnya adalah obat jenis Z, atau Z-drugs (seperti zolpidem dan zaleplon).
Obat tidur jenis ini dianggap memiliki efek samping yang lebih ringan.