MENGIMPLEMENTASIKAN paham keagamaan yang bersifat rahmatan lil alamiin, Muhammadiyah melaksanakan konsep dakwah bersifat inklusif. “Tidak memandang suku, etnis atau agama. Karena kita memahami Bangsa Indonesia itu plural. Dan dengan memahami pluralism inilah pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah menggunakan konsep dakwah kebangsaan,†jelas Yamin.
Tidak diingkari, Bangsa Indonesia  terdiri dari beragam suku, etnis, budaya bahkan agama. Di dalam pelbagai perbedaan itu, ada kesamaan yang dihadapi yang sangat melilit masyarakat secara nyata, yakni kemiskinan. Artinya, kemiskinan merupakan problem kebangsaan yang juga menjadi tanggung jawab bersama.
“Dan  Muhammadiyah terpanggil untuk ikut memecahkan problem kebangsaan tersebut. Karena itulah dakwah pemberdayaan yang dilakukan Muhammadiyah bersifat kebangsaan, dakwah kebangsaan juga jihad kebangsaan,†sebut Nurul Yamin.
Fakta inilah yang membuat kegiatan pemberdayaan yang dilakukan MPM PP Muhammadiyah bisa berjalan dimana-mana, meski antara pendamping dan yang didampingi tidak sama suku, etnis bahkan agamanya.
“Konsep kami hanyalah nguwongke wong,†tandas Yamin. Di sinilah sejatinya mewujudnya tepa slira, dan toleransi, gotongroyong, kebersamaan dan kearifan lokal lain tanpa disadari. Untuk itulah, sebagai ‘yang datang’ lanjutnya, kitalah yang memang harus menyesuaikan.
Seperti diketahui, Warga Batu Rajang, Siduung Indan dan Long Keluh adalah komunitas Dayak yang 99% non-Muslim. Konsep nguwongke wong itulah yang membuat di manapun MPM mengajak pegiat di lapangan untuk selalu mengenal dan memahami kebiasaan serta juga adat istiadat dan budaya mereka.
“Contohnya, kita harus toleran dan tidak mungkin mengadakan acara Minggu pagi, karena mereka harus ke gereja. Kita juga harus menunda kegiatan, ketika misal tetua adat akan mengadakan pesta nikah anaknya. Kita tidak memaksakan mereka harus mengikuti. Sebaliknya, kitalah yang menyesuaikan,†jelas Yamin.
SEBAGAI proyek, kegiatan MPM PP Muhammadiyah sudah berakhir sejak 2018. Namun bukan berarti warga masyarakat di 3 kampung itu terus ditinggalkan. Menurut Wakil Program Manajer Kemakmuran Hijau Zen Al Wahab, MPM ‘menyerahkan’ keberlanjutan dampingan tersebut pada mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Merekalah lanjut Zen, yang menjaga dan merawat keberlanjutan pemberdayaan.
Bahkan Januari 2020 lalu, perwakilan Berau juga diundang dalam lokakarya dan best practise program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakandi Universitas Muhammadiyah Malang. Jadi semua tetap dalam pantauan.
Tetapi ini adalah pemberdayaan.  Muhammadiyah tentu tidak ingin membuat warga dampingan  menjadi bergantung. Muhammadiyah hanya mmberi kail, warga dampingan yang akan mencari ikan sendiri. Semua tergantung kreativitas dan inovasi, tidak sekadar keberdayaannya.
Mandiri, adalah makna sukses pemberdayaan. Itu menjadi harapan MPM PP Muhammadiyah. Apalagi seperti disebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir ketika mengujungi Batu Rajang, kegiatan pemberdayaan MPM PP Muhammadiyah memiliki tiga dimensi utama.
Pertama proses penyadaran. Artinya, masyarakat harus mampu menyadarkan akan potensi sekaligus tantangan yang dihadapi. Kedua, pemberdayaan masyarakat harus mampu membebaskan dari masalah yang dihadapi berbasis pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Ketiga, pemberdayaan masyarakat harus mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat. Pemberdayaan bukanlah kegiatan karikatif yang berujung pada tumbuhnya sifat ketergantungan.
“Ujung keberhasilan dari aktivitas pemberdayaan adalah kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Dan para fasilitator yang mendmpingi masyarakat inilah kunci keberhasilan,†kata Haedar Nashir.