Tari Ki Ageng Pandanaran - Nyai Brintik Karya Yoyok Ajarkan Kearifan

Photo Author
- Senin, 20 November 2023 | 07:39 WIB
Para murid Sanggar Greget Semarang pentaskan Tari Ki Ageng Pandanaran-Nyai Brintik di Pandanaran Jazz Festival 2023. (Chandra AN)
Para murid Sanggar Greget Semarang pentaskan Tari Ki Ageng Pandanaran-Nyai Brintik di Pandanaran Jazz Festival 2023. (Chandra AN)



KRjogja.com - SEMARANG - “Putra Pangeran Sabrang Wetan…putu Panembahan Demak…ingkang asma Pandan Arang….ugi Kaloka Pandanaran…...andap asor luhur wicaksana…..Bupati Semarang kaping pisan…..Priyagung bebuden bawa laksana…..Sinuyudan Mring Para Kawula….”

Alunan syair tembang berbahasa Jawa ini pun melantun mengiringi pentas tari ‘Pandanaran Nyai Brintik’ karya maestro tari Prof Dr Yoyok Bambang Priyambodo yang ditampilkan memeriahkan ‘Pandanaran Art & Jazz Festival 2023’ di Pelataran Patung Proklamator Ir Soekarno Kawasan Polder Tawang Semarang, Jumat (17/11/2023) malam.

Tarian karya pengasuh Sanggar Tari Greget Semarang ini memiliki kedalaman filosofi yang sengaja digalinya dari fakta sejarah. Yoyok menggambarkan kemarahan dari sosok Nyai Brintik, penguasa Gunung Brintik yang diperankan Fairuz Salma. Nyai Brintik menumpahkan amarahnya melalui kesaktian yang dimilikinya saat datang Ki Ageng Pandaranan yang hendak Babad Alas untuk membangun wilayah yang kemudian dikenal nama Semarang.

Baca Juga: Ekonomi Bakal Tumbuh Dampak Gas Cisem-1 Tersalur di KIK

Tarian ini menurut Yoyok Bambang Priyambodo mengisahkan bahwa permusuhan, pertengkaran, pertikaian, bahkan pertempuran-pun tak selamanya harus saling membunuh dan dibunuh hingga berujung dengan kematian. Seperti halnya kemarahan Nyai Brintik dimana keberadaan Bukit Brintik sebagai wilayah Semarang terasa terusik oleh kehadiran Ki Ageng Pandanaran tatkala membangun Semarang. Bukan karena kekuatan kanuragan para prajurit dan banyaknya pasukan serta kecanggihan senjata, namun tutur kata, kepribadian yang andap asor dengan sikap santun, bijaksana, dan mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi serta toleransi saling menghargai, seolah menjadi pusaka ampuh Ki Ageng Pandanaran untuk meluruhkan kegarangan Nyai Brintik. Emosi yang menuncak dari sosok Nyai Brintik akhirnya tersirnakan oleh kelembutan dan kearifan tutur kata Ki Ageng Pandanaran hingga keduanya bisa mewujudkan wilayah yang dikemudian hari dinamakan Semarang.

Daniel Doohan, murid Sanggar Greget yang tampil sebagai Ki Ageng Pandanaran berhasil tampil memukau melakonkan sosok yang arif serta bijaksana melalui olah gerak tubuhnya. Fairuz Salma sebagai Nyai Brintik juga mampu mengimbangi.

“Ada yang baru dalam penyajian koreografi pesisiran di Tari Pandanaran Nyai Brintik ini, seperti unsur - unsur gerak tubuh yang dikembangkan dengan lebih exotis menekankan volume tangan serta penggarapan tekture tubuh sedikit gemulai namun tegas, energik yang didukung dengan tetabuhan gamelan komposisi,” ujar Yoyok Bambang Priyambodo.

Baca Juga: Diskop UKM DIY Gencarkan Event di Teras Malioboro

Alunan Tembang yang berkisah tentang Semarang di masa lampau jaman Ki Ageng Pandanaran yang di bungkus dengan musik tari tepak rebana Pesisiran juga dimaksud akan menambah pementasan tari ini bercita rasa Semarang era lampau.

“Ini memang saya gali dari sejarah dan termasuk alunan gamelannya pun saya sesuaikan termasuk sedikit ada unsur mistisnya. Sebab wilayah Gunung Brintik dan sosok Nyai Brintik merupakan sosok yang mistis dan sakti,” papar Yoyok.

Dalam sajian Tarian ini, para penari perempuan menurut Yoyok sengaja tidak menggunakan senjata Cundrik/ keris atau Gendewa seperti pada umumnya tari yang bertema keprajuritan, namun kali ini ada yang baru, yaitu menggunakan senjata berupa Rantai dengan bulatan martil di ujungnya yang di explor berbagai motif gerak, hal ini bagian dari ide kreatif inovatif tetapi tidak keluar dari frame pertunjukan tari.

Baca Juga: Idham: Tanamkan Akhlak Pancasila dengan Lestarikan Budaya Lokal

Karya tari ini digarap diawali riset sederhana melalui penelusuran catatan sejarah, legenda atau cerita rakyat. Selain itu Yoyok juga mempelajari tutur lisan turun temurun, serta tak melupakan ziarah ke makam Ki Ageng Pandanaran di Mugas dan Nyai Brintik di Gunung Brintik Semarang. Hal tersebut juga diperkuat wawancara dengan juru kunci dan pengelola.

Diakuinya karya tari ini pertama kali dipentaskan di Teater Kecil ISI Surakarta saat Peringatan Hari Tari Dunia pada tanggal 29 April 2023. “Ini merupakan kali kedua, namun ada beberapa bagian yang kami kembangkan sebagai inovasi terbarukan,” kata Yoyok.

Filosofi yang terdapat dalam tarian ini menurut Yoyok adanya nilai kebersamaan, gotong royong, kerjasama, dan saling menghargai sesama dalam membangun, menjaga keutuhan Bangsa dan Negara. Melalui pementasan tarian ini, Yoyok kontribusikan untuk masyarakat, bangsa dan negara yang sebentar lagi melaksanakan perhelatan pesta demokrasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

'Penelanjangan Drupadi' Jadi Pembelajaran Lewat Tari

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:40 WIB

Sembilan Negara Ikuti Jogjakarta Karawitan Festival

Jumat, 5 Desember 2025 | 08:27 WIB

Obah Bareng untuk Anak Sedunia

Minggu, 23 November 2025 | 12:18 WIB
X