seni-budaya

Konser Maestro YGF 2025, Saat Gamelan Menjadi Nyanyian Abadi Tiga Legenda

Jumat, 25 Juli 2025 | 09:55 WIB
'Konser Maestro' di YGF 2025 dengan latar belakang wajah Sapto Raharjo (Ist)

Krjogja.com - YOGYA — Dalam senyap yang penuh gema, malam ketiga Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) ke 30 berubah menjadi ruang perenungan mendalam. “Konser Maestro” bukan sekadar konser, melainkan perayaan jiwa tiga tokoh besar seni Indonesia: Sapto Raharjo, Harry Roesli, dan Djaduk Ferianto.

Tiga nama yang tak sekadar memainkan gamelan, tapi menjadikannya suara kebebasan, kritik, dan kehidupan.

Baca Juga: Atasi Ketimpangan Akses Hunian, DPRD dan Pemkab Sleman Targetkan 1000 Rumah per Tahun

Pada malam itu, gamelan bicara. Bukan dengan kata-kata, melainkan melalui resonansi karya yang diwariskan. Komunitas Gayam 16 membuka panggung dengan tujuh karya Sapto Raharjo — simbol angka “pitu” dalam budaya Jawa yang mencerminkan pitulungan (pertolongan), pitutur (nasihat), dan pituwas (buah kebajikan).

Sebuah penghormatan yang tak hanya musikal, tapi juga filosofis. Dalam setiap nada, terasa bagaimana eksplorasi kontemporer dan akar tradisi melebur.

Dari eksplorasi, panggung berlanjut pada teriakan sunyi kebebasan lewat Rumah Musik Harry Roesli. Penampilan mereka ditutup dengan simbol yang menggugah: mikrofon kosong yang disorot cahaya, lalu suara almarhum Harry menyanyikan “Jangan Menangis Indonesia”.

Baca Juga: Geledah Sejumlah Ruangan Kominfo Sleman, Kejati Sita Puluhan Dokumen Pengadaan Bandwidth

Satu pesan kuat: tubuh boleh tiada, tapi ide dan keberanian tetap hidup.

Lalu hadirlah KuaEtnika, mewakili semangat Djaduk Ferianto. Karya seperti “Sesaji Nagari” dipentaskan dalam balutan etno-jazz, blues, hingga idiom musik etnik dari India, Cina, Afrika. Djaduk tak sekadar mengolah bunyi — ia menjembatani zaman, menyambung masa lalu dengan yang kini, menjadikan gamelan rumah untuk semua suara.

Konser ini ditutup dengan penyerahan bouquet bunga kepada para perwakilan penampil, seolah menandai bahwa warisan ini kini berpindah tangan — dari para maestro kepada generasi berikutnya.

Namun malam tak selesai di panggung utama. Di luar Gedung Grha Budaya, program baru bertajuk "Sorot Sumirat" menyalakan dinding dan ruang-ruang tak biasa dengan video mapping yang merespon musik para maestro.

Sebuah kolaborasi lintas medium antara cahaya, ruang, dan suara yang dikerjakan oleh jejaring seniman visual seperti LZY, ARAFURA, hingga Lepaskendali Labs, dengan dukungan Epson sebagai Official Projector Partner. Sorot Sumirat hadir sebagai puisi visual yang berlangsung selama tiga malam, 23–25 Juli 2025.

Tak hanya itu, YGF 2025 juga menghadirkan Kongres Gamelan, tempat para pelaku dan pemikir berkumpul untuk “ngangsu kawruh” — belajar dan menata masa depan gamelan di tengah dunia yang terus berubah.

Festival ini menjelma menjadi lebih dari sekadar ajang pertunjukan. Di Taman Budaya Embung Giwangan, YGF menjadi festival hidup: dari Pasar Cokekan yang merayakan kuliner dan kriya lokal, hingga Panggung Cokekan yang terbuka bagi siapapun untuk berekspresi, dari lomba memasak hingga seni spontan.

Halaman:

Tags

Terkini

Ratusan Anak Meriahkan Gelar Karya Koreografi Tari Anak

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:00 WIB

'Penelanjangan Drupadi' Jadi Pembelajaran Lewat Tari

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:40 WIB

Sembilan Negara Ikuti Jogjakarta Karawitan Festival

Jumat, 5 Desember 2025 | 08:27 WIB

Obah Bareng untuk Anak Sedunia

Minggu, 23 November 2025 | 12:18 WIB