WINA terpaku. Ia tidak menyangka kalau harus mengeluarkan uang cukup banyak, Rp 700.000 bukanlah sedikit. Bukan menyesal, karena untuk anak. “Tapi saya tidak menyangka. Tadi tawaran imunisasinya hanyalah dengan kalimat : mau yang membuat anak demam atau yang tidak?†ungkapnya.
Melahirkan di sebuah klinik swasta dengan beaya yang cukup murah dalam pemikirannya, membuat Wina memutuskan untuk ‘menyerahkan’ perawatan kesehatan anak langsung ke klinik tersebut. Karyawan perusahaan finance ini tidak mengira, ternyata untuk kebutuhan anak-anak beayanya cukup lumayan besar. Ketika bayinya batuk dan demam, juga membuatnya kembali merogoh dompet dalam jumlah yang lumayan. “Saya dan suami yang sama-sama bekerja di sektor swasta memang telah mengikuti program pemerintah. Tapi ini ternyata tidak otomastis mengcover anak,†ungkapnya.
Sementara Andin harus berpindah ke dokter internis yang praktik swasta, ketika sampai bulan keenam batuk yang dideritanya tidak sembuh. “Karena hanya batuk, saya tidak bisa meminta rujukan dari fasilitas kesehatan (faskes) pertama di puskesmas. Tapi obat yang diberikan tak kunjung membuatnya sembuh. Setelah pindah dokter, batuknya langsung berhenti,†paparnya. Namun untuk itu, ujarnya, saya juga harus membuka dompet sendiri alias membayar.
Sebagai karyawan perusahaan swasta yang sudah diikutsertakan dalam program asuransi yang juga dipotong gajinya setiap bulan, sesungguhnya Andin cukup merasa tenang. Problema kesehatan sudah cukup teratasi dengan program pemerintah tersebut. Namun saya tidak mengira, ujarnya, kalau kemudian mengalami kejadiannya seperti ini.
***
Biaya rawat jalan, sering tidak terduga angkanya. Padahal si sakit ketika ditanya, kalau bisa mengikuti rawat jalan daripada harus rawat inap. Dan di tengah pro-kontra terhadap keberadaan program BPJS, problema rawat jalan menjadi hal krusial bagi masyarakat. Apalagi asuransi pada umumnya, tidak mengcover biaya rawat jalan.
Menariknya, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dirilis 2014 mengungkap bahwa masyarakat DIY ini tertinggi memanfaatkan rawat jalan dibanding warga Indonesia di provinsi lain, mencapai 16,3% dengan rerata beaya Rp 35.000. Angka ini jauh lebih tinggi daripada angka rerata di Indonesia yang hanya 10,4%. Namun yang tidak kalah menarik di DIY ini rerata rawat inap juga tertinggi di Indonesia dalam setahun terakhir, mencapai 4,4% dengan rerata beaya Rp 2.000.000.
Angka ini juga jauh lebih tinggi dari rerata nasional yang hanya 2,3% dengan rerata beaya Rp 1.700.000.
Dan adalah sebuah fakta bahwa untuk rawat jalan data Riskesdas 2013 menyebut, sumber pembiayaan berasal dari out of pocket (67.9%). Kemudian jaminan kesehatan pemerintah meliputi Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Askes/Asabri (25,2%), lainnya (3,3%), tunjangan perusahaan (1,8%). Selanjutnya dari lebih dari 1 sumber (1,1%), sedangkan asuransi swasta hanya 0.7%.