KRjogja.com - TANTANGAN dalam hal penanggulangan penyakit masih bakal terus dihadapi Indonesia, terutama diagnosis infeksi dan penyakit TBC dan HIV. Dosen Spesialis Penyakit FK-KMK UGM Yanri Wijayanti Subronto hal ini dalam Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Penyakit Tropik dan Infeksi.
“Tuberkulosis dan HIV merupakan masalah kesehatan di dunia dan terlebih di Indonesia dimana penanggulangannya memerlukan pemahaman dan pendekatan secara multidisiplin, klinis dan kesehatan masyarakat, serta mempertimbangkan aspek kemanusiaan,” katanya dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Tuberkulosis dan HIV: Tinjauan aspek klinis medis, Kesehatan masyarakat dan kemanusiaan” di ruang Balai Senat UGM, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Program MBG Harus Segera Dievaluasi, Banyak Siswa Keracunan Makanan Basi
Saat ini menurut Yanri cara diagnosis TB sudah berkembang, antara lain GeneXpert M. tuberculosis/ resistance to Rifampicin (MTB/ RIF) atau Xpert MTB/ RIF Ultra Assay yang dapat menentukan ada tidaknya bakteri Tuberkulosis sekaligus menentukan adanya resistensi terhadap obat Rifampicin.
“Tes ini direkomendasikan oleh WHO sebagai lini pertama penegakan diagnosis menggantikan pemeriksaan mikroskopis apusan sputum,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu cara pencegahan penyakit TBC pada pasien HIV adalah pemberian terapi pencegahan tuberkulosis atau sering disebut sebagai TPT yaitu memberikan kombinasi satu atau dua macam obat TBC kepada pasien HIV yang tidak sedang menderita penyakit TBC yang aktif. TPT diberikan antara 3 sampai 6 bulan tergantung dari jenis obat TPT yang diberikan, yaitu 3 bulan untuk obat INH + Rifapentin atau 6 bulan dengan obat INH.
Baca Juga: Kemenag Buka Seleksi Penerimaan Calon Mahasiswa Program Studi Keagamaan Jalur Prestasi
“Pemberian TPT diharapkan mencegah pasien HIV untuk muncul penyakit TBC, dan efek perlindungan dari TPT ini dapat mencapai 3-5 tahun,” ujarnya.
Yanri menegaskan, penyakit TBC dan HIV ini masih merupakan masalah dalam klinis medis, kesehatan masyarakat dan sistem Kesehatan, serta kemanusiaan. Sebab masih ditemukan adanya stigma dan marjinalisasi pada penderita. “Sudah saatnya kita lebih toleran, lebih tidak menghakimi, dan dapat memberikan layanan dengan pikiran dan hati yang terbuka,” pungkasnya.(*)