KrJogja.com — YOGYAKARTA — Di era digital yang serba terkoneksi, ironisnya, perasaan kesepian justru semakin sering menghinggapi banyak orang. Fenomena ini kerap disalahpahami sebagai kondisi fisik saat seseorang tidak berada di dekat orang lain. Namun, menurut pakar psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Adelia Khrisna Putri, S.Psi., M.Sc., kesepian adalah sebuah kondisi emosional yang jauh lebih kompleks. Kesepian adalah perasaan terisolasi atau tidak terhubung dengan orang lain, bahkan ketika seseorang berada di tengah keramaian.
Pada Senin (11/8), Adelia menegaskan, "Ini bukan sekadar soal jumlah teman, tapi soal kualitas hubungan yang kita rasakan." Pernyataan ini membongkar mitos bahwa kesepian hanya dialami oleh mereka yang hidup sendirian. Sebaliknya, seseorang bisa merasa sangat kesepian di tengah-tengah pesta, lingkungan kerja, atau bahkan di dalam keluarga sendiri jika mereka merasa koneksi yang bermakna itu tidak ada.
Membedakan Sendirian dengan Kesepian
Adelia menjelaskan perbedaan mendasar antara sendirian dan kesepian. Kondisi "sendirian" adalah keadaan fisik tanpa orang lain di sekitar, yang bagi sebagian orang justru bisa terasa nyaman dan menenangkan. Sebaliknya, "kesepian" adalah kondisi emosional yang muncul ketika koneksi yang dibutuhkan terasa hilang atau tidak memadai. Seseorang bisa saja sendirian tetapi tidak merasa kesepian, dan sebaliknya, dikelilingi banyak orang tetapi merasa sangat kesepian.
Baca Juga: Karanganyar Siaga Bencana Alam, Rapatkan Barisan Antar Instansi
Untuk membantu masyarakat mengenali kondisi ini, Adelia memaparkan beberapa tanda indikator kesepian yang sering tidak disadari. Tanda-tanda tersebut meliputi rasa hampa atau kurang bersemangat meskipun rutinitas harian tetap berjalan, kesulitan merasa benar-benar terhubung dengan orang lain, dan kecenderungan menarik diri dari kegiatan yang dulu disukai.
Secara emosional, seseorang bisa mengalami perubahan suasana hati yang drastis, seperti tiba-tiba sedih, putus asa, atau mudah kesal. Secara fisik, kesepian juga dapat bermanifestasi dalam bentuk kelelahan kronis, sering sakit, dan menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial sebagai upaya mencari koneksi virtual yang sering kali tidak memuaskan.
Kualitas Hubungan, Bukan Kuantitas
Sebagai ilustrasi, Adelia memberikan contoh sederhana: bayangkan Anda berada di sebuah ruangan yang penuh dengan orang asing. Satu jam di sana akan terasa sangat lama karena tidak ada orang yang bisa diajak berbicara dengan nyaman. Bandingkan dengan berada di ruangan yang sama, tetapi dikelilingi oleh teman-teman terdekat. Waktu akan terasa singkat karena adanya interaksi yang bermakna. "Perbedaannya? Bukan pada jumlah orang di sekitar, tapi pada kualitas hubungan yang membuat kita merasa terhubung," tegas Adelia.
Baca Juga: Polres Bantul Panen Jagung, Mendukung Program Asta Cita
Fenomena ini menegaskan bahwa kebutuhan dasar manusia akan koneksi sosial yang berkualitas tidak dapat digantikan oleh jumlah interaksi semata. Di era media sosial, meskipun kita terhubung dengan ratusan bahkan ribuan "teman" di dunia maya, interaksi tersebut sering kali bersifat superfisial dan gagal memenuhi kebutuhan emosional akan koneksi yang mendalam. Hal ini yang seringkali menjadi pemicu utama perasaan kesepian di tengah keramaian digital.
Langkah Proaktif Mengatasi Kesepian
Adelia menekankan bahwa kesepian adalah perasaan yang wajar dan bisa dialami siapa saja. Namun, penting untuk mengambil langkah proaktif untuk mengatasinya sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih serius. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan:
Sadar dan Akui Perasaan: Langkah pertama adalah mengakui bahwa Anda sedang merasa kesepian. "Tidak apa-apa merasa kesepian, mengakuinya adalah langkah pertama," pungkas Adelia.
Hubungi Orang Terpercaya: Cari satu atau dua orang yang Anda percaya dan jalin komunikasi, baik melalui pesan, telepon, atau ajakan bertemu.
Ikut Kegiatan yang Diminati: Bergabung dengan komunitas atau kegiatan yang sesuai hobi dapat menjadi cara efektif untuk bertemu orang baru dengan minat yang sama.
Kurangi Media Sosial: Batasi waktu di media sosial dan ganti dengan interaksi tatap muka yang lebih nyata.