Waspada Duck Syndrome: Ketika Mahasiswa UGM Tampil Anggun di Permukaan, Namun Berjuang Keras di Balik Layar

Photo Author
- Selasa, 12 Agustus 2025 | 16:10 WIB
Duck Syndrome (ISTIMEWA)
Duck Syndrome (ISTIMEWA)


Krjogja.com — YOGYA — Di balik citra gemerlap mahasiswa yang berprestasi, aktif berorganisasi, dan selalu terlihat ceria, tersimpan fenomena psikologis yang sering kali luput dari perhatian: duck syndrome. Istilah yang dipopulerkan dari kisah mahasiswa Universitas Stanford ini menggambarkan kondisi seseorang yang tampak tenang dan bersemangat di permukaan, namun secara internal berjuang keras menghadapi tekanan mental dan emosional.

Di lingkungan kampus-kampus Indonesia, termasuk di Universitas Gadjah Mada (UGM), fenomena ini kian jamak ditemukan, menjadi alarm serius bagi kesehatan mental mahasiswa.

Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dari Career and Student Development Unit (CSDU) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, menjelaskan bahwa duck syndrome adalah metafora yang kuat. "Seperti bebek yang mengayuh dengan panik di bawah permukaan air agar tidak tenggelam, mahasiswa juga berjuang keras di balik penampilan yang anggun dan produktif," katanya pada Senin (11/8).

Baca Juga: Heruwa dan Sal Priadi Hidupkan Kembali 'Insomnia' Shaggydog dengan Sentuhan Bristol Sound

Menurut Anisa, fenomena ini muncul dari ekspektasi tinggi yang datang dari diri sendiri maupun tuntutan lingkungan. Mahasiswa merasa harus mengejar IPK tinggi, aktif di berbagai organisasi, magang, mengikuti lomba, hingga menjaga eksistensi di media sosial. "Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan," jelasnya.

Disonansi Kognitif dan Peran Media Sosial
Tekanan ini berakar pada kebutuhan psikologis dasar manusia, sebagaimana diuraikan dalam Self-Determination Theory. Manusia memiliki kebutuhan akan rasa kendali (autonomy), rasa mampu (competence), dan rasa terhubung (relatedness). Anisa menjelaskan bahwa ketika pilihan hidup didorong oleh tekanan eksternal, bukan lagi keinginan pribadi, maka keseimbangan psikologis individu akan terganggu.

Selain itu, budaya untuk selalu terlihat "baik-baik saja" di masyarakat kita turut memperparah kondisi ini. Mahasiswa cenderung menekan atau menyembunyikan emosi negatif karena takut dianggap lemah. Sikap perfeksionisme yang tinggi membuat mereka berusaha keras menutupi kelemahan dan kesulitan. "Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri," tutur Anisa.

Baca Juga: Direktur Caksana Institute Soroti Korupsi Alih Fungsi Lahan

Peran media sosial dalam memperkuat tekanan ini tidak bisa diabaikan. Beranda yang dipenuhi dengan pencapaian teman-teman, mulai dari kemenangan lomba, pengalaman magang, kelulusan cepat, hingga liburan, dapat memicu perasaan tertinggal atau fear of missing out (FOMO). Fenomena ini sejalan dengan Impression Management Theory, di mana seseorang berusaha mengatur citra diri agar terlihat kuat dan mampu, meskipun di balik layar ia sedang sangat lelah.

Dampak Berbahaya dan Pentingnya Kejujuran Diri

Anisa menegaskan bahwa duck syndrome bisa sangat berbahaya karena sifatnya yang tak kasat mata. Seseorang bisa tampak baik-baik saja, namun tanpa disadari sedang mengalami distress psikologis. Kalimat pembenaran seperti "semua orang juga capek" atau "memang harus begini kalau mau sukses" sering kali digunakan untuk terus memaksakan diri. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi gangguan yang lebih serius, seperti kecemasan kronis, insomnia, burnout, bahkan depresi.

Konflik antara perasaan internal dan ekspresi eksternal menciptakan disonansi kognitif yang berat. Lama-kelamaan, mahasiswa bisa merasa asing dengan dirinya sendiri, bingung membedakan antara sibuk dan bahagia. Hubungan sosial juga terpengaruh, di mana mahasiswa mulai menarik diri karena merasa tidak cukup baik atau takut dihakimi. "Padahal sebetulnya yang dibutuhkan hanya ruang untuk didengar," ungkap Anisa.

Baca Juga: Polres Bantul Panen Jagung, Mendukung Program Asta Cita

Langkah-Langkah Mengatasi dan Bantuan yang Tersedia


Untuk mengatasi duck syndrome, Anisa menyarankan mahasiswa untuk mulai mengenali gejala dan mengambil langkah kecil. Langkah pertama yang paling krusial adalah jujur pada diri sendiri dan mengakui bahwa merasa lelah bukanlah sebuah kelemahan. "Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It's okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia," tegasnya. Menerima dan mengizinkan diri merasakan emosi apa adanya adalah bagian penting dari proses pemulihan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Rekomendasi

Terkini

Akademisi Desak Pemerintah Tegas Atur Kental Manis

Senin, 15 Desember 2025 | 20:38 WIB

Lego Jadi Terapi Relaksasi untuk Orang Dewasa

Rabu, 26 November 2025 | 15:35 WIB
X