KRjogja.com - GANGGUAN tulang osteopenia seringkali terlambat tertangani karena biasanya tidak menimbulkan gejala.
Osteopenia atau penurunan kepadatan tulang ini baru diketahui jika pengidapnya melakukan uji pemeriksaan bone mineral density (BMD).
Biasanya seseorang akan tahu kalau dirinya mengalami osteopenia saat mengalami patah tulang setelah tergelincir atau terjatuh, atau ketika kondisinya sudah berkembang lebih parah menjadi osteoporosis.
Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) Kabupaten Sumenep (pafipckabsumenep.org) menjelaskan, osteopenia merupakan kondisi hilangnya massa tulang, sehingga tulang melemah.
Seiring waktu, kondisi ini sangat meningkatkan risiko terjadinya kondisi osteoporosis atau perapuhan tulang, yang membuat penderitanya semakin rentan mengalami masalah kesehatan.
Secara umum, osteopenia tidak memiliki gejala spesifik atau khas. Namun, sebagian orang dengan osteopenia mungkin merasa nyeri pada tulang kering, meski hal ini jarang sekali terjadi.
Orang yang mengalami osteopenia juga bisa saja tidak mengalami kehilangan massa tulang, namun kepadatan tulang mereka memang lebih rendah.
Namun, lemah saja tidak cukup untuk kemudian dikategorikan sebagai osteoporosis.
Tidak ada penyebab tunggal untuk osteopenia. Biasanya, proses penuaan menjadi faktor risiko paling umum untuk terjadinya osteopenia.
Setelah puncak massa tulang terlewati, tubuh merombak tulang lebih cepat daripada membentuk tulang baru. Artinya, orang yang mulai berusia lanjut akan kehilangan kepadatan tulang.
Wanita cenderung lebih berisiko mengalami osteopenia dibandingkan pria.
Hal itu karena wanita memiliki puncak kepadatan tulang lebih rendah dan kehilangan massa tulang yang dipercepat saat menopause.
Sejumlah orang memiliki kemungkinan lebih besar mengalami osteopenia karena kesehatan tulang yang kurang bagus, yang diturunkan dari keluarganya.
Kondisi kesehatan serta pemakaian obat-obatan juga bisa memengaruhi risiko tersebut.