Krjogja.com - SAAT berbicara terkait pengendalian inflasi, semua menyalahkan perubahan musim, lonjakan permintaan, naiknya bahan bakar dan listrik, sampai dengan gangguan alam pun dituding sehingga harga merangkak naik. Padahal tidak sesederhana itu mengapa kenaikan harga selalu dan selalu terjadi seperti tidak bisa dikendalikan. Tidak kurang fihak yang seolah mengeroyok inflasi dari mulai akademisi, berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD), Bank Indonesia, sampai dengan antar kementerian lembaga, tak terkecuali kepala negara. Pun dibentuk tim pengendalian inflasi baik di daerah maupun di pusat.
Inflasi itu perlu dikelola dan dikendalikan, tidak harus dihilangkan karena merupakan hal yang tak mungkin. Inflasi yang tinggi menggerus daya beli masyarakat, tapi tanpa inflasi, tak akan ada insentif bagi pelaku ekonomi untuk berkativitas. Dalam Inflation targeting framework, pemerintah mentargetkan inflasi itu bergerak di angka 3 plus minus 1. Padahal bagi DIY, inflasi secara tahunan atau year on year (yoy) 5,14%, meskipun rendah dibandingkan posisi Maret 2023 6,11%. Lebih tinggi dibandingkan April 2022 dengan posisi inflasi di 4,12%.
Untuk mengendalikan inflasi, kita harus tau betul akar masalahnya, agar kebijakan pengendalian inflasi tidak hanya itu-itu saja. Akar masalah itu bisa dari darimana andil inflasi berasal, misalnya dari biaya transportasi, makanan dan minuman, tembakau, atau kelompok lain yang mungkin menjadi triger.
[crosslink_1]
Pemangku kepentingan kadang tidak mampu memetakan rantai distribusi secara utuh sehingga penanganan inflasi terkesan sepotong-sepotong. Untuk kebutuhan pokok masyarakat, harus teridentifikasi secara pasti berapa banyak kebutuhannya antar bulan dalam satu tahun,bukan dari hasil proyeksi semata. Ketidaktahuan jumlah kebutuhan pasti mulai dari rumah tangga sampai pelaku usaha mengakibatkan tidak pernah tepatnya penentuan stok kebutuhan pokok.
Kalau sudah diketahui berapa kebutuhannya, lalu darimana dan siapa yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pertanyaan ini juga sering sulit terjawab, dari kanal distribusi mana barang tersebut masuk dan berapa jumlahnya serta dari daerah mana. Dengan diketahuinya asal barang dan jumlahnya, pemerintah dapat menentukan kebijakan Di sisi penawaran, harus mampu teridentifikasi pengendalian persediaan dan Kerjasama antar daerah (KAD) untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Selama ini yang terjadi adalah pengambil kebijakan tidak mengetahui secara pasti terkait aspek pasokan ini.
Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan dapat menempatkan seluruh tingkatan pelaku usaha dalam rantai distribusi berperan sehingga harga dan margin di tiap pelaku usaha dapat terkendali secara wajar dan benar. Alur barang harus dapat teridentifikasi alur peran dari tiap pelaku usaha sampai dengan barang tersebut tersampaikan kepada konsumen akhir. Rente dan panjangnya jalur distribusi sampai dengan transportasi dapat menjadi Pelepas simpul permasalahan inflasi di daerah. Selama ini inflasi sulit dikendalikan karena tidak diketahui siapa pelaku distribusi, berapa tingkat penguasaanya, margin yang dinikmati, dan seberapa mampu pelaku tersebut mengendalikan dan menahan jalur distribusi.
Bila ketiga aspek tersebut dapat terpetakan dengan benar, maka pengendalian inflasi tidaklah menjadi hal sulit meskipun volatilitas musim dan perilaku spekulasi masih menjadi tantangan tersendiri. Akan lebih lengkap lagi bila pemanfaatan sistem informasi harga kebutuhan pokok yang dapat terakses oleh seluruh lapisan masyarakat dan terupdate secara akurat dapat memudahkan pengendalian inflasi di daerah.Z (Dr. Suparmono, M.Si. Ketua STIM YKPN Yogyakarta, Peneliti Senior Sinergi Visi Utama Consulting, dan Pengurus ISEI Yogyakarta)