Tujuh Makna Idul (Kembali) Fithri

Photo Author
- Senin, 24 April 2023 | 15:55 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

Krjogja.com - MENURUT pakar bahasa Arab, salah satunya, yaitu Ibnu Mandzur, kata fithri (fa-tha-ra) setidaknnya mencakup tujuh hal penting, yaitu kesucian, kekuatan, jati diri, asal usul kejadian, memakai pakaian taqwa, dinnul Islam dan berbuka.


Maka bila digabung kata itu menjadi Idhul Fitri, artinya kita berharap akan kembali ke sucian diri kita, kembali ke asal usul kita, kembali ke jati diri kita, kembali memakai pakaian taqwa, kembali ke kekuatan kita, kembali ke dinnul Islam, dan kembali telah berbuka. Untuk ketujuh arti ini mari kita bahas satu persatu dan kita renungkan maknanya:


Pertama, kata fithri atau fitrah jika jika diartikan suci atau kesucian, maka ia harus memenuhi tiga unsur inti, yaitu keindahan yang menggetarkan, kebenaran yang bisa diterima dan kebaikan yang bisa dibuktikan.


Dari konsekwensi ini, maka kembali ke fithri artinya kita harus menciptakan keindahan (seni), menerima kebenaran dengan menambah ilmu (sains) dan berbuat baik atau amal sholeh yang melahirkan akhlaqul karimah. Itulah makna idhul fithri buah dari pendidikan Ramadhan untuk mengantarkan kita menjadi seniman, ilmuwan sekaligus budiman.


Kedua, kata fithri disebut sebagai kekuatan, karena sebulan penuh shoimin dan shoimat mempunyai kekuatan untuk mengendalikan hawa nafsu. Dengan kekuatan itulah kaum Muslimin melakukan jihad akbar mengendalikan hawa nafsunya  dan ia akan menjadi kuat, makanya begitu tiba Idhul Fithri, diharapkan seorang mukmin dapat kekuatan baru.
Ketiga, pengertian fithri (fitrah) jika bermakna asal kejadian ini dikaitkan dengan manusia bisa diberikan beberapa contoh, antara lain manusia berjalan dengan kakinya, melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, merasa dengan hatinya dan berpikir dengan akalnya.


Konsekwensi dari pengertian ini, maka kita menjadi salah jika ingin berjalan dengan tangan, melihat dengan telinga dan berpikir dengan mulut, atau salah jika kita mengukur kesalahan dan kebenaran atau kesedihan dan kebahagiaan dengan alat timbangan atau alat ukur meteran dan seterusnya, itulah fitrah.


Masih dalam pengertian fitrah sebagai asal kejadian, maka kitapun harus menempatkan hati sebagai tempatnya iman, dan bukan di akal, karena akal selalu menolak hal-hal yang tak bisa dicerna oleh indrawi, dan tugas akal hanya untuk mengukuhkan iman.


[crosslink_1]


Keempat, kata fithri secara maknawi ada juga yang mentakwil dengan arti memakai pakain. Tentu yang dimaksud memakai pakaian disini adalah pakaian taqwa, sebagaimana yang disyaratkan dalam surat al-Baqarah, ayat 183, bahwa tujuan berpuasa adalah supaya kita bertaqwa.


Selama Ramahdhan kita sudah menenun sepanjang hari, dan saat idhul fitri itulah kita memakai pakaian taqwa agar meningkat (Syawal) jati diri kita. Dalam konteks ini kita mengingat pesan Ilahi: Janganlah kita menjadi seperti seorang perempuan dalam cerita lama, ia mengurai kembali hasil tenunanya yang rapi sehelai benang demi sehelai sehingga tercerai berai (an-Nahl, 92). Artinya madrasah puasa selama sebulan itu harus terus kita pakai (fithri) sampai setahun mendatang, bahkan lebih.


Puasa diibaratkan seperti menenun atau menjahit pakaian ini juga seperti yang sudah dicontohkan ulat yang bertapa dalam tenunannya (kepompong), setelah selesai menenun, ia memakai sayapnya yang indah untuk terbang (kupu-kupu), atau bisa juga diibaratkan sang laba-laba yang menenun rumahnya sehelai demi helai, kemudian ia memakai (fithri) agar ia menjadi tenang hidupnya.


Kelima, kata fithri berarti jati diri. Jati diri manusia adalah sebagai khalifah, yaitu makhluk termulia, penghuni surga, tetapi dalam waktu bersamaan juga makhluk yang berlumur dosa. Kenapa? Karena ia dibekali hawa nafsu, juga dibekali hati nurani, yaitu gabungan antara hati yang tajam dan pikiran yang jernih untuk menahan diri dari dorongan nafsu hewani.


Seorang mukmin dikatakan “kembali ke fitrah” itu artinya ia kembali ke jati diri, karena ia sanggup menahan hawa nafsu dengan hati-nuraninya atau sebaliknya, seorang mukmin belumlah dikatakan kembali ke fitrah bila hawa nafsunya mendorongnya untuk bersikap liar dan tak terkendali.


Keenam, jika fithri diartikan dinnul al-islam, islam secara bahasa bentuk masdar dari sa-la-ma yaitu perdamaian atau ketertundukkan. Konsekwensi dari kata ‘damai’ atau ‘tunduk’ ini mengandung tiga unsur inti, yaitu kita sebagai hamba harus merasa damai dengan Tuhan, yaitu harus tunduk dengan cara meninggalkan semua larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya dengan (dan) tanpa paksaan apapun.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X