Krjogja.com - DAHULU, cara memilih pemimpin adalah dengan cara peperangan, pertempuran, persaingan yang tidak manusiawi, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Namun dengan adanya perkembangan peradaban manusia yang semakin modern, pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara yang bermartabat. Metodenya adalah demokrasi dan instrumennya adalah pemilu. Indonesia salah satu negara yang sistem politiknya menganut sistem demokrasi. Namun, dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, masih terdapat berbagai pelanggaran dan ancaman yang mampu menimbulkan dampak disintegrasi bangsa.
Bentuk ancaman yang sering terjadi selama penyelenggaraan pemilu yaitu maraknya berita hoaks, adanya praktik-praktik politik uang, kampanye hitam, ujaran kebencian, praktik politik uang, politisasi sara dan berbagai ancaman lainnya.
Menurut data dari situs bawaslu.go.id, pada pemilu tahun terdapat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya. Selain para petugas pemilu, banyak juga calon legislatif yang dilaporkan. Tantangan-tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pelaksanaan pemilu diantaranya akibat dari adanya fanatisme yang berlebihan terhadap masing-masing calon. Fantisme yang berlebihan ini dapat disebabkan oleh adanya kesamaan visi, misi, atau bisa juga karena kesamaan latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan yang bersangkutan.
Sikap fanatisme yang berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik baru seperti maraknya berita hoax, kampanye hitam, ujaran kebencian, hingga politik SARA. Menurut kominfo.go.id, politik identitas dan SARA merupakan tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia di Pilkada serentak pada tahun 2018 dan Pemilu 2019.
Lebih jauh lagi, sikap fanatisme yang berlebihan bisa berlanjut sampai selesainya pengumuman hasil pemilu. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan aksi demonstrasi dan tidak sedikit yang akhirnya terjadi kerusuhan. Rasa fanatisme yang berlebihan tersebut tentunya menjadi suatu ancaman bagi keutuhan dan keselamatan bangsa. Jika rasa fanatisme yang berlebihan ini tidak di antisipasi, maka bisa saja akan terulang kembali pada pemilu 2024 yang akan datang. Selain itu, politik uang yang terjadi di Indonesia juga masih tinggi. Data yang termuat dalam journal KPU menyatakan bahwa jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam pemilu 2019 sekitar 19,4% hingga 33,1%.
Permasalan lain yang dihadapi dalam pemilu adalah banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput). Menurut dataindonesia.id terdapat 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019. Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, maka dari itu perlu adanya Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN). Pelaksanaan PKBN diharapkan akan membentuk warga negara yang memiliki kesadaran bela negara sehingga terciptanya sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif dan efisisen.
PKBN adalah segala usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memberikan pengetahuan, pendidikan, dan/atau pelatihan kepada Warga Negara guna menumbuhkembangkan sikap dan perilaku serta menanamkan nilai dasar bela negara. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Bela negara dapat dilakukan sesuai dengan posisi, peran, dan kedudukan masing-masing warga negara.
Inti dari bela negara adalah rasa untuk mempertahankan dan melindungi apa yang kita milik sesuai dengan kapasitas yang kita miliki sehingga bela negara tidak harus mengangkat senjata kecuali pada situasi negara yang harus mewajibkan kita untuk mengangkat senjata. Bela negara memiliki lima dasar bela negara yaitu cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, setia pada pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban, dan kemampuan awal bela negara.
Adapun aksi gerakan bela negara dalam bidang politik, khususnya pemilu, diantaranya, menggunakan hak pilih dan sosialisasi gerakan anti kampanye hitam, politik identitas, nasionalisme sempit, pragmatisme, anti praktik politik uang dan politisasi sara. Aksi gerakan bela negara dalam pemilu dapat dilandasi oleh lima nilai dasar bela negara. Rasa cinta tanah air yang dapat diwujudkan dalam pemilu melalui sikap dan perilaku yang menyadari serta bertekad bersatu sebagai bangsa Indonesia yang memiliki tanggung jawab moral untuk terus menjadikan Indonesia damai penuh harapan terhadap masa depan yang cerah sehingga selalu bangga sebagai bangsa Indonesia.
Sikap dan perilaku yang tidak pernah menjelek-jelekkan bangsa sendiri sekalipun masih ada hal yang belum sempurna yang dilakukan oleh pemerintah kepada rakyatnya karena mengalami tantangan dan kekurangan sumber daya. Maka dari itu, warga negara yang memiliki kesadaran bela negara tidak akan menyebarkan berita hoaxs, saling menjelek-jelekkan pesaing dari calon pilihan mereka dikarenakan adanya rasa cinta tanah air.
Adanya rasa cinta tanah bukan berarti membenarkan rasa fanatisme berlebihan tehadap masing-masing calon karena ketika warga negara memiliki rasa cinta tanah air maka akan tercermin sikap dan perilaku yang menunjukkan rasa hormat, tanggung jawab, perhatian, dan kebulatan hati atau tekad terhadap keutuhan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke, kelangsungan hidup, kemajuan NKRI, mencintai dan melestarikan hidup, serta menjaga nama baik dan mengharumkan tanah air Indonesia.
Selain cinta tanah air, warga negara juga perlu sadar akan berbangsa dan bernegara. Ketika warga negara sadar berbangsa dan bernegara maka mereka akan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai perwujudan bela negara, masyarakat Indonesia dapat berpartisipasi dalam pemilu, menggunkaan hak suara untuk memilih pemimpin yang dapat membawa kebaikan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup negara Indonesia.
Menggunakan hak pilih adalah upaya bela negara melalui demokrasi sekaligus juga melindungi bangsa dan negara Indonesia. Hal yang terpenting dari semua itu adalah dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung pada pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari termasuk saat pemilu berlangsung karena pancasila merupakan dasar negara Indonesia. (Daru Putri Kusumaningtyas, S.E., M.Han, Dosen Akademi Manajemen Administrasi (AMA) Yogyakarta)