HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada para pencipta, inventor, pendesain, dan sebagainya. Hak ini sebagai bentuk perlindungan atas jasa mereka dalam menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang bermanfaat bagi khalayak luas. Kebanyakan masyarakat, sampai saat ini masih sering beranggapan bahwa Kekayaan Intelektual (KI) hanya berupa hak cipta saja. Padahal, KI mencakup Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Merek, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Indikasi Geografis, dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Di lingkungan universitas, yang notabene merupakan kawah bagi para intelektual bangsa, keberadaan Sentra HKI tentu memiliki peran krusial dalam menjembatani antara para pencipta, inventor, pendesain, dan lain-lain terutama dari lingkungan kampus dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sentra HKI berperan mendaftarkan atau mengajukan permohonan KI dari sivitas akademika untuk selanjutnya diberikan perlindungan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Lebih-lebih, berbagai riset eksternal yang para sivitas akademika lakukan, menghendaki luaran berupa KI.
Terdapat beberapa jenis dan kriteria karya yang bisa diberikan perlindungan. Sebagai contoh, karya yang hendak dipatenkan, harus berupa invensi atau penemuan baru di bidang teknologi atas penyelesaian suatu masalah di masyarakat, baik pengembangan maupun perbaikan bagi invensi sebelumnya. Sementara itu, Desain Industri berupa desain dari benda/barang dengan bermacam-macam bentuk, baik dua dimensi, tiga dimensi, maupun desain berbentuk gambar (grafis). Karya-karya berupa lagu (mars dan himne) dan sejenisnya masuk ke dalam kategori Hak Cipta. Adapun untuk Merek, pendaftaran logo universitas merupakan salah satu contoh yang bisa ditemui. Di antara sekian jenis tersebut, Paten-lah yang paling membutuhkan effort tinggi dan memakan proses panjang.
Bagi lembaga bernama universitas sendiri, pendaftaran dan pencatatan HKI memiliki banyak manfaat penting. Pertama, bagi para dosen-dosen di dalamnya, bisa digunakan untuk BKD, PAK, kenaikan jabatan fungsional dosen, yang notabene nilainya juga setara nilai publikasi. Kedua, HKI diperlukan untuk akreditasi, baik akreditasi program studi maupun AIPT. Ketiga, HKI Paten memiliki nilai komersial.
Pertanyaan yang muncul berikutnya: lantas, bagaimanakah urgensi HKI ini di masa-masa seperti sekarang ini, yang notabene kian identik dengan era yang memungkinkan individu dan kelompok mana pun bisa sangat leluasa berkarya dan bebas memublikasi? Pertama, secara umum, sebagaimana disebutkan di awal, bahwa pencatatan HKI terhadap karya yang kita hasilkan akan menjamin perlindungan hak, sebab secara otomatis hak-hak kita akan melekat dalam karya terkait, tidak terkecuali hak ekonomi. Di era yang seterbuka apa pun, apabila HKI bisa diperketat, maka sebagai contoh terbaru, dalam kasus hak cipta lagu atau musik royalti dari karya-karya yang kita hasilkan akan 'mengalir' dengan sendirinya ke dalam 'saku'. Untuk kasus Paten sendiri, sejatinya invensi yang didaftarkan oleh individu atau kelompok, lantaran di dalamnya memang diketahui memiliki nilai ekonomi.
Kedua, kasus-kasus duplikasi, plagiasi, dan semacamnya terhadap karya orang lain, sampai hari ini masih kerap kita jumpai. Berkaitan dengan itu, HKI tentunya juga dapat menjamin kepemilikan atas karya yang kita miliki, sehingga dapat mengantisipasi kasus-kasus pelanggaran hak cipta sebagaimana disebutkan tadi.
Ketiga, sangat berkaitan dengan nilai ekonomi, bahwa HKI dapat mendongkrak kompetisi dan memperluas jangkauan pangsa pasar—khususnya dalam konteks komersialisasi KI. Pendaftaran dan pencatatan HKI, tentunya menumbuhkan motivasi dari para pencipta, inventor, pendesain, dan sebagainya untuk terus berkarya dan berinovasi, serta mendapatkan apresiasi dari karya yang ia hasilkan.
Di lingkungan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta sendiri, apresiasi dan reward terhadap sivitas akademika yang mengajukan KI terus ditingkatkan. Sejauh ini, Sentra HKI sudah mendaftarkan sebanyak 101 paten di DJKI Kemenkumham. Dari 101 paten yang terdaftar, UAD memiliki 16 paten granted. Paten yang sudah terdaftar diharapkan dapat memasuki tahap komersialisasi dan dapat diimplementasikan di dunia industri. Langkah dan strategi komersialisasi kemudian dilaksanakan dan diatur oleh Kantor Urusan Bisnis dan Investasi (KUBI). (Dra. Sudarmini, M.Pd., dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD. Saat ini, menjabat sebagai Kepala Sentra Kekayaan Intelektual UAD)