Dr Suparmono MSi
Dosen/ Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN dan Pengurus ISEI Yogyakarta
BANK Indonesia dalam rilisnya menyampaikan bahwa Indonesia menerbitkan SBN untuk pemulihan ekonomi maupun pembiayaan defisit fiskal. Untuk penanganan pandemi Covid-19 akan menaikkan jumlah SBN yang diterbitkan. Disisi lain, dana stimulus yang digelontorkan pemerintah sejumlah Rp 405,1 triliun atau 2,6% dari PDB Indonesia seluruhnya masih diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan peningkatan daya beli masyarakat yang terdampak. Dana stimulus tersebut masih diarahkan pada mengatasi masalah demand shock, belum pada supply shock.
Peningkatan daya beli melalui sejumlah relaksasi perpajakan, bantuan dana kepada masyarakat yang terkena dampak langsung, serta relaksasi angsuran pinjaman memang jangka pendek sangat dibutuhkan. Tapi jangan lupa bahwa aspek supply shock terkait distribusi barang, ketersediaan dan produksi pangan mutlak diperlukan dalam jangka menengah dan panjang. Akses pangan menggambarkan seberapa mampu seluruh lapisan masyarakat memperoleh dan memenuhi kebutuhan pangan.
Akses pangan ini terkait dengan sisi permintaan terhadap kebutuhan pangan. Akses pangan ini harus diimbangi dengan ketersediaan dan keterkendalian harga pangan. Tanpa adanya keseimbangan antara akses dan ketersediaan, permasalahan ketahanan pangan akan timbul. Lalu dimana permasalahan dan kekhawatiran terhadap akses pangan ini dimulai.
Kebutuhan Pangan
Dari sisi permintaan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memberikan warning bahwa akses masyarakat terhadap bahan pangan juga akan mengalami penurunan karena pandemi. Masyarakat berpendapatan menengah bawah yang merupakan 40% penduduk terdistorsi akibat kehilangan sumber pendapatan utama.
Pengurangan jam kerja, pemutusan hubungan kerja, dan hilangnya jenis pekerjaan tertentu merupakan penyebab turunnya daya beli. Kebutuhan akan pangan kita ketahui sangat tidak elastis terhadap harga. Artinya bahan pangan ini mutlak dibutuhkan setiap orang tanpa memandang kelas sosialnya.
Parahnya lagi, dalam kondisi pandemi ini, ada tindakan sebagian masyarakat melakukan pembelian dan penumpukan kebutuhan pangan diluar batas normalnya. Kepanikan dan kekhawatiran terjadinya kelangkaan pangan mengakibatkan tingkat pembelian lebih besar dari kondisi sebelum terjadinya pandemi.
Dari sisi penawaran, jelas bahwa produksi dan distribusi serta ketersediaan pangan terpengaruh dengan distorsi ekonomi nasional maupun global. Setiap negara tentunya akan mengamankan stok pangan. Ini merupakan ancaman bagi negara yang masih menggantungkan pasokan pangan dari impor, termasuk Indonesia.
Produsen beras, seperti Thailand, Vietnam, dan Myanmar akan memprioritaskan kebutuhan beras domestik daripada untuk memenuhi pasar global. Pertanda ini dapat dilihat bahwa harga beras global telah merangkak naik, bahkan sudah tembus US$500/ton, karena volume perdagangan beras sudah menurun.
Dibutuhkan insentif nyata untuk petani dalam meningkatkan produksi pangan, seperti insentif yang diberikan kepada tenaga medis, kelompok pra-kerja, maupun keluarga pra sejahtera. Pemberian Subsidi Insentif tersebut berupa pemberian subsidi pada sarana produksi, mulai dari pupuk, bibit, pestisida dan sarana lain yang menjadi ongkos utama dalam bertani. Perbaikan nilai tukar petani (NTP) dalam bentuk stabilitas dan tingkat harga yang menguntungkan petani juga harus menjadi konsen pemerintah.
Insentif kepada petani yang sawahnya masuk dalam Peta Lahan Sawah Dilindungi (PLSD) juga perlu disinkronkan dengan penerima stimulus lain. Memang Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah ini mendukung ketahanan pangan nasional, tapi ini dalam jangka menengah dan panjang.