PULAU Jawa merupakan salah satu pulau yang sangat rentan terhadap bencana alam. Posisi Jawa bersama Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan wilayah Indonesia bagian Timur seperti Kepulauan Halmahera, Maluku, dan Papua merupakan jalur ring of fireî. Sepanjang jalur tersebut terletak hampir 129 gunungapi aktif, sebagai akibat pengaruh dari zone penunjaman atau subduksi antar-tiga lempeng besar Indo-Australia, Asia, dan Pasifik.
Secara teoritis ada hubungan kuat antara jalur subduksi dengan jalur gunungapi tersebut. Terbukti bahwa makin meningkatnya aktivitas kegempaan yang berpotensi menimbukan gempabumi, maka akan meningkat pula aktivitas vulkaniknya. Terbukti meletusnya gunungapi Sinabung di Sumatera Utara dan gungapi Agung di Bali yang tidak pernah diperkirakan akan meletus, setelah ratusan tahun kedua gunungapi itu tidur.
Kondisi daya dukung lingkungan Pulau Jawa sebagai suatu ekosistem juga semakin kritis, terbukti makin banyaknya kejadian banjir dan tanah longsor di banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah mengalami degradasi lingkungan. Menyusutnya luas hutan sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan yang diperkirakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2017 yang lalu telah mencapai ambang kritis yaitu sekitar 750 ribu hektar per tahun. Kondisi ekosistem yang semakin buruk ini membuat Presiden Jokowi menegur langsung Menteri KLHK karena dianggap tidak mampu mengendalikan pengalihan fungsi lahan. Kemampuan Pemerintah untuk rehabilitasi lahan dan hutan ternyata hanya sekitar 250 ribu hektar per tahun. Penyusunan Peta Tata Ruang Wilayah hanya digunakan sebatas sebagai pelengkap dalam menyusun peruntukan zonasi antara zone lindung dan zone budidaya, tanpa mendasarkan pada Peta Indeks Risiko Bencana,. Sehingga ada sekitar 63,7 juta jiwa yang terpapar bencana alam.
Dengan kepadatan sangat tinggi dan merupakan wilayah dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional, mengakibatkan risiko bencananya juga semakin tinggi di Jawa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2017, terjadi bencana sebanyak 2.175 kali. Jumlah tersebut terdiri dari banjir (737 kejadian), puting beliung (651 kejadian), tanah longsor (577 kejadian) kebakaran hutan dan lahan (96 kejadian), kekeringan (19 kejadian), gempabumi (18 kejadian), gelombang pasang dan abrasi (8 kejadian), serta letusan gunungapi (2 kejadian). Data seri kebencanaan cenderung meningkat frekuensinya dan makin meluas dangan intensitas bencana yang semakin tinggi. Sebanyak 95% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang dipicu oleh perubahan kondisi cuaca ekstrem.
Meningkatnya kekritisan DAS di Indonesia khususnya DAS di Pulau Jawa makin memprihatikan. Sekitar dua dekade yang lalu baru sekitar 70an DAS kritis dan super kritis. Namun saat ini sudah mencapai 100 lebih DAS yang kritis dan sangat kritis.. Tingkat kerentanan juga makin tinggi dari aspek kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. DAS kritis di Pulau Jawa yang segera perlu direhabilitasi antara lain DAS Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Solo, dan Brantas. Kejadian banjir dan longsor akhir-akhir ini terjadi di DAS super kritis tersebut dengan perkiraan luas lahan kritis sekitar 24,3 juta hektar.
Perlu strategi mitigasi untuk pengurangan risiko bencana di Pulau Jawa khususnya dan wilayah lainnya di Indonesia. Antara lain : (a) penataan ulang dan pengendalian, serta penegakan aturan. Antara lain peninjauan kembali pemanfaatan lahan yang berbasis pada DAS dan tingkat risiko bencana secara berkelanjutan, hal ini sangat penting seperti yang diamanatkan dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) tahun 2015 - 2030; (b) pembangunan atau revitalisasi sumberdaya air yang mecakup aliran sungai, waduk, embung, situ dan pembangunan sumur resapan air hujan dalam program peduli atau kemitraan lingkungan dengan melibatkan unsur pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha atau swasta, (c) mengoptimalkan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan secara bijak tanpa meninggalkan kaidah dan hukum pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup, serta (d) pendanaan yang memadai untuk menjaga keberlangsungan program-program di atas, dan barangkali diperlukan program asuransi kebencanaan.
(Prof Dr Sudibyakto. Guru Besar Hidrologi, Fakultas Geografi UGM, dan Unsur Pengarah BNPB dari Masyarakat Profesional. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 28 Februari 2018)