BERDASARKAN Undang-undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan perlunya perwujudan 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif. Memang jumlah calon legislatif (caleg) di setiap pemilu sudah memenuhi kuota 30% perempuan. Namun keterwakilan yang jadi (anggota legislatif) masih minim.
Situasi yang tak kondusif bagi perempuan berkiprah di dunia politik di Indonesia sudah diramalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak merdeka, Indonesia belum pernah mencapai 30% representasi perempuan di legislatif. Pada pemilu terakhir (2014), jumlah keterwakilan perempuan bahkan jeblok lagi di angka 14% dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang hampir 19%.
Mengapa keterwakilan perempuan dalam legislatif masih sangat rendah? Hal ini antara lain disebabkan partai politik masih belum terlalu memperhatikan partisipasi perempuan dalam pemilihan umum. Akibatnya, politikus perempuan kerap ditempatkan di urutan bawah daftar calon anggota legislatif.
Banyak Hal
Disamping itu, ternyata banyak hal yang juga menyebabkan rendahnya representasi perempuan di parlemen selama ini. Agar kuota menimal keterwakilan perempuan di parlemen mendatang terpenuhi, maka harus diketahui kendala-kendala tersebut. Adapun kendala-kendala tersebut antara lain: (1) faktor ideologi: adanya anggapan bahwa perempuan tidak cocok masuk dunia politik; (2) faktor politik: perempuan susah masuk dalam atmosfer klub patriarkal.
Selain itu (3) faktor sosial: tingkat pendidikan perempuan yang lebih rendah, atau beban domestik; (4) faktor ekonomi: tiadanya sumber ekonomi untuk modal kampanye (data seluruh dunia menunjukkan perempuan lebih miskin daripada laki-laki); dan (5) faktor kultural: yang mendahulukan laki-laki, meski kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki. Heran ketika kemudian DPRD melahirkan lebih dari 250 perda diskriminatif terhadap perempuan Indonesia. Hal yang seharusnya dapat dihindari jika keterwakilan perempuan minimal 30%. Sebab, mereka harapan besar bagi perubahan proses pembuatan legislasi yang berpihak pada kaum rentan itu.
Diantara berbagai kendala tersebut, faktor yang paling membuat rendahnya daya saing perempuan dalam pemilihan legislatif adalah sikap partai politik yang masih menempatkan perempuan caleg diurutan terakhir dalam pemilihan legislatif. Lalu, ada kebiasaan yang belum diubah diinternal partai politik, yakni sesama kader partai politik bersaing di satu daerah pemilihan yang mengakibatkan keduanya saling berebut suara.
Disamping banyaknya kendala di lapangan, dalam sistem politik juga masih setengah hati mendukung perempuan. Sebagai contoh, Pansus RUU Pemilu DPR cuma terdiri atas empat perempuan sehingga mereka kalah suara dengan anggota DPR laki-laki.