YOGYAKARTA memang istimewa. Untuk kesekian kalinya warga terbaiknya memperoleh anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Republik Indonesia. Prof Drs H Lafran Pane, yang lahir di Padang Sidempuan 5 Februari 1922, melewatkan masa remaja-belajar-berjuang-berkarirhingga meninggal di Yogyakarta.
Berbeda dengan kedua kakaknya pujangga Sanusi Pane dan Armijn Pane yang tetap setia berkarya di bumi Andalas. Pemuda Lafran Pane memutuskan hijrah ke Yogyakarta, beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Ia memulai perantauan fisik dan mentalnya dengan menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Islam, cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII), yang semula berkampus di Jakarta. Penulis yang berkesempatan mengenal dari dekat, mengikuti alam pemikiran dan kemudian mengaguminya, bersaksi bahwa Lafran Pane adalah mata air keteladanan tanpa batas.
Sintesisme Islam
Pertama, di bidang keagamaan ia meninggalkan warisan monumental berupa organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi yang didirikan di Yogyakarta bersama 14 orang temannya ini bukan semata menjadi wadah berkiprah para mahasiswa yang beragama Islam.
Dalam perjalanannya HMI menjadi sintesis dari aneka aliran Islam yang ada di Indonesia. HMI tidak mengenal mazhab, dan Lafran Pane memang bukan nasab atau keturunan Kiai, ulama atau habib. Posisi ini menjadi penting karena beragamnya praktik keislaman di Nusantara. Maka tak heran bila bahan baku kader HMI beraneka ragam macam masakan gado-gado. Dari yang abangan, mualaf, santri, Islam kiri, Islam kanan, Islam moderat, semua disatukan dalam rumah besar Islam keindonesiaan.
Kedua, keteladanan di bidang kenegaraan dengan sikapnya yang tegas untuk terlibat dalam elan revolusi Tahun 1945. Itu ditunjukkan secara terang benderang, di dalam AD/ART HMI bahwa tujuan berdirinya HMI adalah (1) Mempertahankan Negara Republik Indonesia; (2) Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Lafran Pane adalah seorang nasionalis. Akar nasionalisme dirinya juga bisa dilacak dari latarbelakang keluarganya yang nasionalis. Ayahnya, Sutan Panguraban Pane adalah seorang wartawan yang juga tokoh Partai Indonesia (Partindo) Sumatera Utara.
Ketiga, sebagai intelektual akademikus, ia sosok yang memegang teguh kebenaran ilmiah. Ia tak tergoyahkan untuk mempertahankan argumennya, di hadapan siapapun, dengan segala risiko apapun. Banyak orang menilai Lafran Pane berhati kaku, tidak bisa bergaul, apalagi jika dibandingkan dengan kultur Yogya yang penuh basa-basi.