SATU artikel menarik pernah disajikan dalam Majalah Foreign Affairs (April, 2017) dengan judul Is America Still Safe for Democracy? ini. Isi inti artikel adalah kekhawatiran masyarakat Amerika pasca-terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Berupa: (1) ketakutan Amerika Serikat - yang mungkin - menuju otoritarianisme. Atau (2) Amerika Serikat akan mengarah pada otoritarianisme kompetitif. Yaitu sebuah sistem di mana institusi demokratis tetap dipertahankan namun disalahgunakan oleh kekuasaan negara untuk merugikan lawan-lawannya. Dalam istilah lain, kekhawatiran kedua, dapat pula disebut sebagai rezim demoriter (bentuk kekuasaan demokratis, tetapi dalam menjalankannya dengan cara-cara otoriter).
Keterlambatan Negara
Kecemasan yang melanda rakyat Amerika rasanya patut pula diwaspadai masyarakat Indonesia saat ini. Pengetengahan kewaspadaan dimaksud, dengan dasar bahwa akhirakhir ini pusaran kekuasaan yang cenderung curiga terhadap gerak-gerik massa yang rajin memanfaatkan kebebasan menyatakan sikap dan pikiran. Stempel anti-Pancasila dan tuduhan makar menjadi topeng ideologis yang laten digunakan dan ditujukan untuk mengidentifikasi musuh daripada mengelaborasi gagasan yang dikandung dalam setiap formulasinya. Kondisi itu, kemudian diperparah dengan penegakan hukum parsial yang terfokus pada kelompok oposisi pemerintahan.
Kita sepakat bahwa setiap inci gerakan yang mencoba merongrong pilar-pilar negara harus ditindak. Namun pilihan pembubaran dan pengetatan aktivitas pada lapisan massa justru menjadi peneguh bahwa negara selalu terlambat dalam melakukan berbagai konversi yang dapat dijadikan sebagai penyokong jalannya kekuasaan atau yang disebut Fukuyama sebagai modal sosial. Padahal, jika negara mampu memberdayakan modal sosial tersebut, dapat menjadi insentif bagi negara untuk bersama membangun visi-misi kenegaraan. Sehingga akan memudahkan penguasa dalam mengejewantahkan gagasan besar pembangunan bangsa.
Potret lanjutan atas realitas kekuasaan demoriter, dapat dijumpai pada kebijakan yang diambil dengan cara politik demokrasi, bukan kebijakan (policy) demokratisasi. Politik demokrasi lebih menonjolkan sisi formalitas pengambilan kebijakan guna menghindari desakan demokratisasi publik, namun sesungguhnya terselip kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dengan menolak kritik. Sementara, policy demokratisasi merupakan mekanisme pengambilan kebijakan yang diambil atas dasar sensibiltas dan kebutuhan publik (Sendjaya, 2010). Jika rencana pelibatan presiden dalam pemilihan rektor dengan dalih menangkal radikalisme, benar-benar dilakukan, menjadi indikasi atas praktik politik demokrasi tersebut. Masuknya presiden sebagai pejabat politik dalam lingkup otoritas kampus potensial menjadi fase awal yang kasat mata untuk melakukan pemasungan terhadap kebebasan mimbar akademik. Sokurlah, rencana itu sudah dibantah Menristek-Dikti, pekan lalu. Karena apa yang muncul barulah usulan Mendagri.
Transendensi Demokrasi
Agar kekuasaan demoriter tidak terus menerus beroperasi, maka transendensi demokrasi penting untuk diketengahkan. Wujud transendensi demokrasi dimaksud, dapat berupa: pertama, pers sebagai pilar demokrasi tidak boleh sampai kehilangan fungsi sebagai institusi rasional yang harus senantiasa menopang jalannya demokrasi. Lembaga tersebut, harus tetap berfungsi untuk menciptakan kultur demokrasi yang senafas dengan idealita demokrasi dengan tetap menjadi fasilitator yang adil bagi setiap aspirasi massa. Oleh karenanya, pers tidak boleh ikut-ikutan menyajikan, bahkan menyalahkan demokrasi karena tak patutnya aktualisasi demokrasi.
Kedua, pendalaman demokrasi yang berbasis pada kepentingan bangsa dan negara harus menjadi agenda utama untuk dilekatkan dalam setiap pengambilan kebijakan. Karenanya, penguasa harus senantiasa mengasah sensibilitasnya agar dapat merespons secara cepat setiap denyut sosial yang berkembang di masyarakat. Tidak kalah pentingnya, adalah kesediaan penguasa untuk melakukan pembacaan ulang terhadap fakta historis kekuatan otoritarian yang tak berdaya merayu publik untuk tidak menagih hak dan kedaulatannya.