SEPANJANG perjalanan sistem ketatanegaraan di Indonesia yang terhitung sejak kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini, MPR merupakan satu dari sekian lembaga negara yang mendapatkan banyak sorotan publik oleh karena kedudukan dan kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mulai sejak awal pembentukannya, MPR sengaja didesain pendiri bangsa untuk menjelma sebagai rumah rakyat. Penjelmaan rakyat dan tempat seluruh rakyat untuk bermusyawarah dalam mengambil segala keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Seiring perkembangan waktu, desain kelembagaan dan kewenangan MPR yang demikian itu akhirnya ‘digugat’ dengan alasan untuk menyudahi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan MPR. Serta sebagai upaya mewujudkan demokratisasi dan check and balances antarlembaga negara di Indonesia. Melalui Sidang Tahunan 2001, terjadilah dekonstruksi terhadap kelembagaan dan kewenangan MPR yang membuatnya tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, pelaksana tunggal kedaulatan rakyat.
Diawal-awal tahun pasca terjadinya dekonstruksi tersebut, terlihat bahwa publik ‘agak’terpuaskan dengan tidak adanya lagi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh MPR dan mekanisme check and balances antarlembaga negara pun mulai terbangun dengan baik. Namun begitu dinamisnya dinamika ketatanegaraan di Indonesia, beberapa permasalahan sebagai akibat dari dekonstruksi tersebut justru bermunculan. Pertama, kelembagaan MPR kini menjadi kelembagaan yang ada namun seolaholah tidak ada. Kedua, keanggotaannya yang semakin tidak representatif oleh karena DPR sebagai unsur vital dalam keanggotaan MPR kini mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Tidak hanya itu, anggota DPD yang notabenenya merupakan bagian dari keanggotaan MPR pun semakin kehilangan hakikatnya sebagai perwakilan daerah. Karena keanggotaannya saat ini dapat diisi orang berunsurkan partai politik. Ketiga, ketidakjelasan hubungan antara MPR dan Presiden dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Keempat, setiap lembaga negara kini merupakan pelaksana kedaulatan rakyat. Akibatnya tidak jarang menimbulkan gesekan/- konflik antarlembaga negara (bukan sengketa kewenangan lembaga negara) yang sampai hari ini terus terjadi dan belum ada lembaga yang secara konstitusional memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya.
Sedikitnya penulis mencatat telah terjadi 6 kali konflik antarlembaga negara yang penyelesaiannya tidak dilakukan berdasar konstitusional yang jelas atau tidak diselesaikan oleh lembaga yang secara konstitusional memiliki kewenangan untuk hal tersebut. Beberapa di antaranya pada tahun 2009, terjadi konflik lembaga negara antara BPK vs BPKP mengenai Sri Mulyani dan Bank Century. Pada tahun 2010 antara LPSK vs Polri dalam kasus Susno Duaji. Selanjutnya, KPK vs Polri (Cicak vs Buaya tahun 2008, 2012 dan 2015). Konflik antara DPR vs Presiden di tahun 2014 berkenaan dengan rencana DPR untuk mengajukan hak interpelasi kenaikan harga bahan bakar minyak kepada Presiden Jokowi yang kemudian ditanggapi Presiden dengan melarang menteri kabinet dan jajaran kementeriannya untuk menghadiri rapat dengan DPR. Juga antara MK vs MA, Polri, Kejaksaan dan KPK (2015) karena lembaga tersebut tidak melaksanakan putusan MK. Terakhir (2016) konflik antara BPK vs KPK berkenaan dengan perbedaan sikap keduanya atas hasil audit pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI.
Berpikir Ulang
Berbagai permasalahan tersebut membuat kita harus mulai berpikir ulang untuk melakukan pembenahan terhadap desain pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia. Khususnya desain pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilakukan MPR berkaitan dengan kedudukan kelembagaan dan kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini menjadi penting. Secara filosofis dan historispun, fakta sejarah sebenarnya membuktikan, sejak awal pembentukannya hingga saat ini, MPR belumlah samasekali menjelma menjadi lembaga sebagaimana diinginkan pendiri bangsa saat pembentukannya.
Perlu menjadi catatan bahwa dalam rangka melakukan pembenahan terhadap kedudukan kelembagaan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kita harus berangkat dari titik awal bagaimana kelembagaan MPR ketika itu dibentuk. Yakni ide dasar faham cita negara integralistik/kekeluargaan serta semangat antiindividualistik, liberalisme dan demokrasi Barat yang disuarakan pendiri bangsa sejak awal pembentukan negara. Kemudian diharmonisasikan dengan dinamika kelembagaan negara dan ketatanegaraan Indonesia saat ini.
(Harry Setya Nugraha SH MH. Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 3 Juni 2017)