RATA-RATA desa di Sleman menerima aliran dana Rp 2,5 milliar dari Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah (DBHPRD) serta Dana Desa (DD). Namun disesalkan belum banyak desa menyusun APBDes yang pro penanggulangan kemiskinan. Padahal tingkat kemiskinan di Kabupaten Sleman masih cukup tinggi yakni 11%. Hal itu diungkapkan Wawan Widiantoro, Sekretaris Kecamatan Moyudan dalam rapat evaluasi rancangan peraturan desa tentang APBDes (KR, 27/2).
Apa yang terjadi di Sleman tersebut merupakan cerminan kasus yang terjadi di mayoritas desa di seluruh Indonesia. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan dana transfer baik yang langsung dari Pusat maupun yang melalui Daerah, memberi keleluasaan kepada desa untuk menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan. Sayangnya, sangat minim desa yang secara serius menggarap program penanggulangan kemiskinan. Hampir 95% desa di seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan.
Sepanjang tahun 2016 penggunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa baru efektif untuk mendanai program pembangunan fisik yang dirumuskan dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes). Surat edaran Menteri Desa 2015 yang mendorong optimalisasi Dana Desa untuk pembangunan infrastruktur dijadikan acuan utama dalam pembelanjaan di APBDes.
Bagi pemerintah desa, penggunaan dana desa untuk proyek pembangunan fisik dipandang lebih mudah dalam eksekusi dan pelaporan administrasinya. Proyek pembangunan fisik dipersepsikan lebih jelas tolok ukur capaian dan dimensi keberhasilannya. Padahal idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi piranti dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai. Sehingga hasilnya semakin membesarnya volume pendapatan APBDes akan berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan.
Kemiskinan Pedesaan
Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa masih tinggi. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori miskin, 70% merupakan warga pedesaan. Realitas sosiologis berupa meningkatnya angka kemiskinan di desa merupakan cerminan dari ketidakefektifan pengelolaan dana desa dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Angka kemiskinan di desa meningkat karena ketidakmampuan desa dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi produktif bagi masyarakat miskin. Desa tidak mampu menfasilitasi program pengentasan rakyat dari kemiskinan yang idealnya dianggarkan dalam skema pendanaan melalui APBDes.
Akar dari persoalan kemiskinan adalah masalah penghasilan keluarga. Dengan demikian idealnya penanggulangan kemiskinan difokuskan pada upaya menciptakan lapangan kerja atau meningkatkan penghasilan keluarga miskin. Sambil menyiapkan pekerjaan atau meningkatkan pendapatan keluarga miskin, keluarga ini mendapat bantuan raskin, termasuk bantuan pendukung lain untuk kesehatan, pendidikan, rumah layak huni dan yang lainnya. Bantuan ini tentu tidak selamanya karena setelah memiliki penghasilan yang memadai dan bisa mandiri secara ekonomi mereka tidak mendapatkan bantuan lagi. Konsep seperti ini yang seharusnya dikembangkan.
Kelompok Sasaran