Pilkada di Negeri Pascaetika

Photo Author
- Sabtu, 18 Februari 2017 | 18:32 WIB

BEBERAPA pekan ini moral bangsa seperti sempoyongan ditampar berita ada lagi bupati dicokok KPK untuk perbuatan dugaan korupsi/gratifikasi. Kita sempoyongan karena menyadari bahwa itu bukan yang pertama. Dan celakanya mungkin juga bukan yang terakhir.

Kasus itu kira-kira merupakan yang ke-60 kalinya kepala daerah digaruk karena sebab korupsi/gratifikasi dalam 12 tahun terakhir. Mau tidak mau kita harus merenungkan mengapa negeri ini menjadi demikian memprihatinkan. Kita perlu melihat kemungkinan adanya kebijakan publik yang salah yang berdampak masif berupa ‘panen raya keburukan’dewasa ini.

Jika mencermati para (tersangka) korupsi, jelas mereka itu berada pada usia matang sebagai tokoh masyarakat, terentang antara 35-60 tahun. Pertanyaannya: Apa kesamaan kejadian di antara mereka yang secara tandas menerpa nilai-nilai moral mereka? Adakah sesuatu yang mempengaruhi yang berasal dari kebijakan publik yang berdampak masif?

Pendidikan Formal

Ringkasnya, jawaban terhadap pertanyaan itu ternyata adalah: mereka semua dikondisikan oleh pendidikan formal yang menyingkirkan pendidikan budi pekerti. Kesimpulan demikian mungkin berat diterima, namun sejarah mencatat betapa pelajaran Pendidikan Budi Pekerti (PBP atau nama lainnya) pernah ada dalam kurikulum sekolah, untuk kemudian disingkirkan pada 1980-an, dan kini tampak korelasi positif dengan ‘panen raya keburukan’itu.

Langsung atau tak langsung masyarakat kita terpapar oleh dampak penyingkiran pemuliaan budi pekerti dari sekolah. Waktu berlangsungnya sejalan dengan pergeseran paradigmatik dalam khasanah pergulatan pemikiran di dunia yang didorong Peter Drucker sampai pada ‘demam’ management by objectives. Hal demikian merupakan konsekuensi pendidikan formal yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembangunan, yang belum memenuhi semua harapan namun masih menjadi tumpuan sebagai perangkat manajemen (Gray & Burns 1979).

Celakanya, masyarakat kita memiliki anggapan bahwa apa yang diajarkan di sekolah itu penting dan, sebaliknya, apa yang tidak diajarkan dianggap mubazir dan dapat disingkirkan. Bukankah memang ada masanya budi pekerti luhur itu tidak dihargai lagi oleh (sebagian) masyarakat, berkebalikan dengan penghargaan terhadap ilmu eksakta, matematika atau kemampuan bahasa asing? Padahal pengenalan akan adanya aturan sepanjang usia pendidikan dasar (intinya budi pekerti) adalah landasan internalisasi nilai menuju ketaatan hukum (Arigatou-UNESCO/UNICEF 2008) -- dan itulah yang ditiadakan secara sistemik.

Pilkada Sekarang

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X