SAAT perhatian publik tersedot riuhnya pilkada, publik lupa bahwa ada urusan penting yang seharusnya ikut dibicarakan yakni pembentukan badan peradilan khusus yang berwenang menangani sengketa pilkada. Hingga kini, nasib peradilan khusus itu masih terombang-ambing lantaran belum ada lembaga yang merasa mendapat mandat untuk membentuknya. Apalagi Pasal 157 ayat (1) dan (2) UU No 10 Tahun 2016, memang tidak tegas mengamanatkan lembaga mana yang dipikuli tanggung jawab. Akibatnya pemunculan badan khusus, seakan hanya sebagai alat untuk meredam polemik Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu keukeuh enggan menangani sengketa pilkada.
Kondisi itu berbeda dengan desain UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang tegas menyatakan pembentukan pengadilan khusus perikanan berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri (vide Pasal 71). Demikian pula, di dalam UU No 46 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menegaskan pengadilan Tipikor berada di bawah lingkungan MA.
Lempar Tanggung Jawab
Ketiadaan mandat dalam undang-undang, pada akhirnya menjadikan lempar tanggung jawab menjadi jawabannya. DPR merasa yakin pembentukan badan peradilan khusus itu merupakan kewenangan MA. Sementara MA menolak dengan dalih UU tidak mengamanatkan. Menyiasati kemandekan itu, idealnya intensitas komunikasi harus segera dibangun oleh pembentuk undang-undang kepada lembaga yang dirasa layak membentuk badan peradilan khusus itu. Jika memang spiritnya adalah MAsebagai mandataris pembentukannya, maka MA harus diajak berdialog guna merumuskan formula pembentukan peradilan khusus tersebut.
DPR dan Pemerintah boleh saja merasa nyaman karena sejauh ini sengketa pilkada yang ditangani oleh MK dijalankan cukup apik. Namun harus diingat ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016, tegas menyatakan kewenangan yang dimiliki MK bersifat sementara, bukan permanen. Artinya DPR dan Pemerintah tetap berkewajiban memastikan ihwal pembentukan peradilan khusus.
Selain soal waktu dan lembaga pembentuknya, persoalan lain yang berkelindan apakah badan khusus itu harus badan baru atau memberdayakan lembaga yang ada? Apabila hendak dibentuk lembaga baru, maka harus memperhatikan rambu bahwa desain lembaga harus dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dipayungi dengan undang-undang tersendiri. Pada dimensi ini, harus terlebih dahulu dibentuk regulasi lebih lanjut terkait badan tersebut. Misalnya, Pemerintah dan DPR dapat membentuk UU tentang Badan Khusus Penyelesaian Sengketa Pilkada. Persyaratan itu harus dipenuhi, agar tidak kontradiktif dengan Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan senapas dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Lembaga Baru
Menurut hemat penulis lebih sepakat untuk tidak membentuk lembaga baru, melainkan memberdayakan lembaga yang telah ada dengan memperluas wewenangnya. Dengan mempertimbangkan load perkara dan dengan tetap mempertimbangkan kompetensi absolutnya, maka kewenangan mengadili sengketa pilkada idealnya diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Beberapa alasan yang mendasari, yaitu: pertama, sesuai Pasal 153 dan 154 UU No 10 Tahun 2016, perkara yang ditangani PTTUN secara inheren terkait dengan pilkada sepanjang yang menyangkut aspek administratif. Asumsinya, dengan kerap mengadili perkara terkait pilkada, maka PTTUN sudah tidak asing lagi dengan persoalan pilkada.