DARI forum The First International Conference of Vocational Higher Education (ICVE) belum lama ini, terungkap pentingnya merevitalisasi pendidikan vokasi untuk menyiapkan tenaga-tenaga vokasional yang benar-benar siap memasuki dunia kerja. Kesimpulan yang pas, untuk menjawab harapan agar serapan lulusan SMK harus naik (KR, 7/11).
Kalau diukur dengan banyaknya makalah yang masuk, ICVE tersebut terbilang sukses. Sebanyak 92 dari 1.034 makalah yang masuk dipresentasi dan dibahas. Masing-masing 46 makalah peserta dalam negeri dan 46 makalah peserta luar negeri. Makalah tersebut terdiri 8 bidang cakupan. Mulai travel and tourism, engineering and technology studies, general paper, multidisciplinary studies, communication and media studies, social science and humanities, health and medicine studies, serta business, management and accounting. Pentingnya pendidikan vokasi pernah diingatkan Presiden Joko Widodo.
Pengingatan Presiden ini menanggapi banyaknya keluhan tentang makin banyaknya tenaga terampil dari negara manca yang masuk ke Indonesia. Masyarakat banyak mengeluh karena pos-pos kerja yang mestinya diisi oleh tenaga terampil dari Indonesia ternyata ‘direbut’ tenaga kerja asing, khususnya dari China. Salah satu upaya adalah meningkatkan keterampilan (calon) tenaga kerja kita melalui pendidikan vokasi.
Apa yang dinyatakan Presiden Jokowi tersebut segera ditindaklanjuti oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy selaku pembantu Presiden. Menristek Dikti segera membuat program untuk merevitalisasi pendidikan vokasi di Perguruan Tinggi. Kebijakan yang ditempuh antara lain ialah ‘Kebijakan 30-70’. Maksudnya pengajaran dalam pendidikan vokasi terdiri dari 30% teori dan 70% praktik. Argumentasinya jelas, tanpa menjalani pengajaran praktik yang cukup tidaklah mungkin para lulusan bisa menjadi tenaga vokasional yang andal.Kebijakan lain yang ditempuh akan menghadirkan orang industri ke kampus untuk melakukan proses belajar mengajar. Lebih konkret lagi 50% pengajar berasal dari dunia industri. Argumentasinya jelas, calon lulusan akan lebih mudah mempelajari dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan dunia industri.
Ketika penulis menemui tamu dari Royal Melbourne Institute Technology (RMIT) University Prof Desmon Cahill yang berkunjung di UST Yogyakarta beberapa waktu lalu, beliau menyatakan salah satu kunci kesuksesan Perguruan Tinggi meraup mahasiswa dari dalam dan luar negeri ialah kemesraan komunikasi antara universitas dengan industri. Dosen dan mahasiswa sering terjun ke industri, sebaliknya orang industri sering menyambangi kampus. Industri menyampaikan karakter tenaga kerja yang diperlukan, sementara Perguruan Tinggi memenuhinya. Pengalaman sukses Universitas RMIT tidak ada jeleknya dijadikan referensi dalam melakukan revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia. Sedang Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan keterampilan siswa khususnya SMK harus semakin ditingkatkan agar bisa langsung masuk industri. Para lulusan SMK sebaiknya langsung bekerja di industri. Kalau sudah mapan barulah kuliah di Perguruan Tinggi.
Apabila kita cermati data empiris memang sangat sedikit lulusan SMK yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi. Misal di UI Jakarta. Wakil Direktur Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan Program Pendidikan Vokasional UI Jakarta Padang Wicaksono menyatakan, setiap tahun Program Pendidikan Vokasi UI menerima 900 mahasiswa baru, tetapi hanya 3% yang berasal dari SMK. Penyebabnya lulusan SMK tidak bisa masuk UI melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) maupun Seleksi Masuk UI.
Sesungguhnya lulusan SMK lebih potensial masuk pada pendidikan vokasi di Perguruan Tinggi dibanding lulusan SMA. Mengingat lulusan SMK sudah dibekali ‘keterampilan dasar’ yang lebih memadai. Karena lulusan SMK memang disiapkan langsung masuk ke industri, bukan melanjutkan studi di Perguruan Tinggi. Di sinilah letak permasalahannya. Banyaknya lulusan SMK yang langsung bekerja di industri di satu sisi dan sedikitnya lulusan SMK yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi merupakan keberhasilan revitalisasi pendidikan vokasi pada jenjang Pendidikan Menengah. Tetapi ini bukan keberhasilan revitalisasi pendidikan vokasi pada jenjang Pendidikan Tinggi.
(Prof Dr Ki Supriyoko MPd. Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta, Magister Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 28 November 2016)