KRjogja.com - Pada tanggal 22 April 2024 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang diajukan oleh H. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D dan Dr. (HC) HA. Muhaimin Iskandar dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/PHPU.PRES-XXII/2024 dalam perkara yang sama dan diajukan oleh H. Ganjar Pranowo, SH., MIP dan Prof. Dr. HM Mahfud MD, SH., SU., MIP telah dibacakan.
Hal ini berarti upaya hukum yang berkaitan dengan Sengketa Hasil Pilpres tahun 2024 telah selesai dan final. Keputusan tersebut secara garis besar menolak permohonan kedua pasangan calon presiden/wakil presiden dengan alasan dalil-dalil yang dikemukakan tidak terbukti. Keputusan tersebut juga memunculkan pendapat berbeda (dissenting opinion) 3 (tiga) Hakim MK yakni Prof. Dr. Saldi Isra, Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, dan Prof. Dr. Arief Hidayat.
Menyimak dan mengkaji kedua Putusan MK tersebut secara garis besar memberikan gambaran bahwa hal ini merupakan peristiwa yang pertama kali sepanjang sejarah berdirinya MK terjadi dissenting opinion dalam sengketa PHPU Pilpres yang bisanya Putusan MK bersifat bulat. Dengan demikian, jika dianalisis secara paradigmatik dalam kacamata logika hukum dengan mengambil perspektif hermeneutik (filsafat penafsiran), Putusan MK ini telah membelah cara pandang dan persepsi hukum Hakim MK dalam dua sisi yang bersebarangan antara kelompok Hakim Konstitusi yang menolak dengan kelompok Hakim Konstitusi yang mengajukan dissenting opinion.
Terlepas dari Amar Putusan dari kedua Putusan MK berikut dissenting opinion yang disampaikan oleh tiga Hakim MK, tulisan ini hanya menganalisis paradigma logika hukum dari kedua kelompok Hakim MK baik yang menolak maupun yang mengajukan dissenting opinion.
Logika hukum yang dimaksud di sini adalah cara pandang terhadap hukum dalam perspektif hermeneutik ketika ada peristiwa hukum yang kemudian dipergunakan sebagai sarana untuk pengambilan keputusan hukum yang dianggap benar berdasarkan dalil-dalil yang dimilikinya. Sehubungan dengan gambaran mengenai logika hukum itulah, maka secara garis besar logika hukum itu terbagi menjadi dua yakni logika hukum Traditional Legal Theory dan logika hukum Critical Legal Theory. Kedua cara pandang hukum tersebut merupakan hasil dari perkembangan filsafat hukum modern dan filsafat hukum postmodern.
Kedua logika hukum tersebut jika diterapkan dalam konteks dua kelompok Hakim MK yang menolak permohonan dan yang dissenting opinion dapat digambarkan sebagai berikut. Bagi kelompok Hakim MK yang menolak yakni terdiri dari 5 (lima) Hakim MK maka cara pandang terhadap peristiwa hukum yang terjadi sangat dipengaruhi oleh logika hukum Traditional Legal Theory yang masuk dalam kategori pandangan filsafat modernisme dimana kajian utamanya adalah membahas tentang fenomena hukum jika dilihat dari aspek 'subyek' dan 'dunia obyek' di bidang hukum.
Oleh karena itu ketika mereka melihat suatu fenomena yang terkait dengan hukum, dalam hal ini adalah persoalan kecurangan yang Terstruktur, Masif, dan Sistemik maka alat ukurnya harus bersifat positivistik. Artinya ukuran dalil diterima atau ditolak permohonan adalah bukti otentik yang pasti tepat dan tak terbantahkan. Logika yang demikian ini memandang bahwa persoalan hukum hanya berkutat pada aspek 'subyek' dan 'obyek' kecurangan yang harus dibuktikan dalam permohonan. Dengan demikian logika hukumnya mempergunakan pendekatan logika eksakta, yakni hal-hal yang bersifat konkrit atau nyata dan dapat dibuktikan dengan pasti.
Sementara itu 3 (tiga) Hakim yang dissenting opinion mempergunakan logika hukum yang perspektifnya adalah Critical Legal Theory. Logika hukum ini memandang Hukum tidak sekedar normative yuridis positivistik melainkan melihat dimensi yang lebih luas lagi, Tidak hanya sekedar “subyek” dan 'obyek', melainkan juga melihat dari fenomena hukum dari perspektif perbedaan dan penghormatan pada yang khusus (etik, moralitas) termasuk dalam konteks ide maupun gagasan yang terus berkembang.
Oleh sebab itu menilai ada/tidaknya kecurangan yang Terstruktur, Sistemik dan Masif tidak berdasar dari dalil-dalil bukti yang otentik melainkan yang intrinsik atau makna-makna yang terkandung di dalam kecurangan proses Pilpres 2024.(Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH