KRjogja.com - KECERDASAN BUATAN (artificial intelligence/AI) tampaknya akan menjadi agenda besar di semua sektor. Kehadiran AI toh bukan lagi pilihan melainkan keniscayaan. Antisipasi AI sejak dini memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk mengadopsi, mengadaptasi, dan mengoptimalkan kebermanfaatannya.
Pemanfaatan AI untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, misalnya, memang terbuka. Mckenzie (2022) menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam dunia bisnis mampu meningkatkan penerimaan usaha. Secara simetris, adopsi AI dalam industri juga berhasil menekan biaya dalam jumlah yang substantial.
Lewat bantuan aplikasi AI, input berupa data diproses menghasilkan output. Data bisa berasal dari dunia maya (big data) secara real time. Data juga bisa diambil dari sumber internal. Hasil pemprosesan AI berupa output yang berisikan informasi. Informasi ini yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan.
Kendati menawarkan efisiensi, penerapan AI tidak lepas dari sejumlah persoalan fundamental. Persoalan pertama pengembangan AI di Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar. Pada tahap awal, manfaat yang didapat sangat boleh jadi tidak/belum sebanding dengan nilai investasi yang ditanamkan.
Persoalan kedua sangatlah klasik, yakni menyangkut data. Di era informasi seperti sekarang ini, data memang banyak tersedia. Namun ketersediaan data secara kuantitas belum terimbangi oleh kualitasnya, Data yang relevan, valid, reliabel, dan up to date niscaya akan memproduksi output serta informasi yang andal pula.
Cerita perihal data kuantitatif di atas agaknya juga berlaku pada data kualitatif. Tingkat kepercayaan terhadap data jenis ini masih rendah lantaran cakupan data kadang tidak lengkap. Kategorisasi data kualitatif sering pula tidak komprehensif sehingga menyulitkan pengolahannya lebih lanjut menjadi informasi. Belum lagi ancaman soal hoax.
Kalaupun data yang tak relevan dan berita hoax bisa disaring AI, persoalan tidak selesai sampai di situ. Data dan informasi yang di-capture AI bisa jadi memiliki hak cipta dengan segala konsekuensi hukumnya. Sejauh terdeteksi, aplikasi AI tidak membedakan data yang memiliki hak cipta atau data yang tersedia untuk konsumsi umum.
Penggunaan AI juga membawa implikasi yang tidak ringan pada ketenagakerjaan. Karyawan yang tadinya menangani pengumpulan, pengolahan, dan intepretasi data akan tergantikan oleh AI. Sebaliknya, beberapa jenis pekerjaan baru, sepeti data engineer, system developer, dan data analyst bakalan muncul yang belum bisa dipenuhi dari dunia pendidikan.
Lebih lanjut, cara kerja AI sangat mekanis. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika data yang diolah sering menghasilkan informasi yang ‘kaku’. Produk informasi itu bisa bersifat robotik yang jauh dari jangkauan sense manusia. Bahkan dalam titik yang ekstrim, produk informasi itu bisa berlawanan dengan norma yang berlaku.
Alhasil, AI sejatinya tidak benar-benar ‘cerdas’. Jargon ‘garbage in garbage out’ tetap relevan sebagai pijakan dalam menggunakan AI. Bagaimanapun AI adalah mesin yang mekanisme operasinya ‘tergantung’ pada pembuatnya. Dengan begitu, pengambil kebijakan tidak dapat sepenuhnya menggatungkan pada hasil AI.
Pengalaman empiris di berbagai sektor privat menunjukkan tingkat akurasi informasi yang dipasok AI paling tinggi mencapai 90 persen (Mckenzie, 2022). Artinya, 10 persen sisanya senantiasa menuntut justifikasi (bahkan judgement) dari pengambil kebijakan. ‘The man behind the gun’ tetap memegang peran kunci dalam pemanfaatan AI.
Dengan memperhatikan sejumlah persoalan di atas, strategi kebijakan yang ditopang oleh pemanfaatan AI akan lebih efisien, efektif, berkualitas, transparan, dan kredibel bagi semua pemangku kepentingan. Pada akhirnya, AI mampu memberikan kontribusi ekstra bagi pemecahan permasalahan bangsa. Bukan begitu? (Prof. DR. Haryo Kuncoro, SE, M.Si., Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI)