KRjogja.com - YOGYAKARTA telah lama menjadi suatu entitas yang dikenal di seantero jagad terhubung sebagai destinasi wisata, terutama jalan Malioboro (Sanskerta, Malyabhara yang artinya karangan bunga) yang ikonik bertengger di tengah sumbu filosofis kota dan telah diakui sebagai pusaka dunia oleh UNESCO. Kerennya bernama, the Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks. Bentang makanan (foodscape) yang berada di kota ini juga sungguh menggiurkan lidah. Belum lagi bentang budaya tradisional yang eksistensinya terjaga ribuan tahun sejak zaman Mataram Hindu, kini berkolaborasi dengan budaya kontemporer yang masih terus berkembang.
Sayangnya, kota ini kini sedang menghadapi bahaya yang mahaberat, yaitu kemacetan dan limbah terutama sampah domestik, sisa hasil produksi manusia dari permukiman, perkantoran, kegiatan komersial dll, dan juga dari proses alam (luruhan daun, dahan, ranting dll) yang berbentuk padat. Zat ini sering kali tidak dikehendaki keberadaannya karena ‘dianggap’ tidak memiliki nilai ekonomis. Meskipun hal ini tidak selalu benar, karena sebagian sampah nyatanya dapat diolah kembali untuk menjadi produk baru yang bernilai, bahkan lebih dari produk aslinya.
Sampah yang dibuang masyarakat di segala penjuru kota Yogyakarta, sekarang menggunung, kadang berbaris berbanjar memanjang laksana Ular Naga di sepanjang pinggiran jalan, dikemas dalam balutan kantong-kantong plastik warna-warni. Barang ini tentu menimbulkan eksternalitas negatif yang mendegradasi lingkungan dan kalau di internalisasikan ongkosnya akan mengurangi dan menghambat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto, yang sudah tercatat baik.
Baca Juga: Peringati Myopia Week, HOYA Gencarkan Kampanye Kesehatan Mata
PDRB Triwulan I tahun 2024 tumbuh sebesar 5,02%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya 4,86% yoy. Biaya lingkungan akibat sampah tidak murah, dan pada akhirnya polusi pada tanah, udara dan juga visual yang diakibatkannya akan mendeplesi sumberdaya dan citra produk wisata yang sudah dibangun dan ditata ulang bertahun-tahun oleh para pemangku kepentingan.
Berdasarkan data Masterplan Pengelolaan Persampahan tahun 2021, timbulan sampah di Kota Yogyakarta 0,82 kg per hari per kapita per hari, di atas rata-rata nasional 0,7 kg per hari. Jika penduduk tahun 2024 diprediksi BPS sebesar 461.225 jiwa maka sampah meningkat menjadi 378.204,5 kg atau 378 ton per hari atau 137.970 per tahun, ceteris paribus. Hal ini tentu tidak terlepas dari laju jumlah penduduk kota yang tumbuh linier dalam satu dasawarsa terakhir (1,18% per tahun). Belum lagi di saat ada libur panjang hari keagamaan, beban kota akan semakin meningkat karena kehadiran jutaan tamu.
Persoalan lain terkait dengan target capaian pengurangan sampah 30% hingga tahun 2025, dan ditutup permanennya TPA Regional Piyungan, sedangkan lahan pengolahan sampah yang ada di kota terbatas.
Baca Juga: Laka Lantas dan Gantung Diri Terjadi di Bantul, Tewas Semua
Sementara itu, alokasi APBD Kota untuk pengelolaan sampah hanya 0,14%. Sangat kecil dibandingkan alokasi dana untuk kesehatan 5,6% dan pendidikan 20% pada APBN 2024. Di sini sebagai gambaran untuk pengumpulan sampah campuran butuh pendanaan besar, mencapai US$70-an per ton, bahkan dapat mencapai 70% dari seluruh sistem, untuk composting (proses pemecahan sampah organik oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur, menjadi bentuk yang lebih sederhana) butuh dana US$50-US$700, atau berkisar US$35 per ton, tergantung metode yang digunakan.
Kemudian, untuk mengubah sampah menjadi energi (waste to energy, WtE) pada pabrik berukuran sedang dengan kapasitas 250.000 tpa menelan biaya sekitar US$169 juta, atau US$680 (Rp. 10.917.400,00) per ton kapasitas tahunan, dengan tipping fee US$96,78 (Rp. 1.553.772) per ton.
Ke depan, mestinya terjadi pengubahan sudut pandang pengelolaan sampah, dari sekedar pembiayaan menjadi investasi yang besarannya, paling tidak menyentuh angka 5% dari APBD. Selain itu, pembicaraan sampah seharusnya sudah beralih dari tataran teknologi pengurainya (karena berbagai alat sekarang sudah tersedia), lebih ke aspek lain yaitu lingkungan (abiotik, biotik dan budaya).
Yogyakarta perlu metamorfosis dari kota konvensional menjadi Kota Simbiosis Mutualistis. Belajar dari pengalaman symbio city di Swedia yang melakukan sebuah pendekatan komprehensif dan inklusif (lingkungan budaya dan alam) terhadap pembangunan perkotaan berkelanjutan, yaitu mengubah tantangan menjadi peluang, dengan bersinergi, lebih partisipatif, dan menggunakan analisis holistik secara strategis dari seluruh pemangku kepentingan. ‘SymbioCity’ mengintegrasikan perencanaan lanskap, arsitektur, fungsi, energi, lalu lintas dan transportasi, pasokan air, sanitasi dan pengelolaan limbah dalam satu sistem perkotaan.
Baca Juga: Event Lari Pejuang Run 2024 di UGM, Yang Muda Jadi Pengusaha Handal Indonesia
Meski tidak harus identik sama, karena lanskap, arsitektur, dan fungsi Kota Yogyakarta telah memiliki ciri budaya tersendiri. Sebagian sampah domestik yang organik, diubah menjadi gas methana (CH4) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar bus kota, dan juga energi listrik untuk dijual sebagai energi terbarukan ke PLN (1 ton sampah organik padat menghasilkan 50 kg gas methana) dan diteruskan ke masyarakat. Kalau itu dapat dilakukan paling tidak akan membantu meningkatkan efisiensi kendaraan, menurunkan kandungan karbon bahan bakar, dan mengurangi jarak tempuh kendaraan bepergian. Idenya menjadikan bus kota berbahan bakar ramah lingkungan sebagai feeder dari lokasi parkir di pinggiran ke pusat kota, sehingga mengurangi kemacetan jalan dari banyaknya bus pariwisata jumbo yang lalu lalang dengan terompetnya yang memekakkan telinga masuk ke destinasi wisata di tengah kota.
Komposnya dapat dijual murah kepada warga kampung yang menanam sayuran atau mengembangkan hortikultura dan semacamnya sekaligus membantu menarik kegiatan ekowisata perkotaan.
Dengan begitu, pengelolaan sampah dirancang untuk menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah saja, tetapi masyarakat, termasuk anggota asosiasi pariwisata juga harus memberikan andil yang signifikan.
Baca Juga: Sekolah Islam Al Azhar akan Membangun Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan
Sebagai perbandingan, rumah tangga di Singapura dikenakan biaya pengumpulan sampah sebesar S$9,63 (sekitar Rp.114 ribu), untuk rumah tapak S$ 32,07 (Rp. 380 ribuan) per bulan, termasuk pajak. Ongkos pembuangan sampah S$900 per bin kubik per perjalanan. Dengan begitu, jika para pihak abai mengelola sampah, bukan tidak mungkin Kota Yogyakarta akan dikenang sebagai destinasi wisata sampah. Akibatnya wisatawan enggan lagi berkunjung ke kota yang konon istimewa dan ngangeni. Hujan fulus dari wisata pun akhirnya menjadi sebuah fatamorgana. Jer Basuki mawa Bea! (Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Sc., CHE, Dosen Stipram, pengurus ISEI, LARI, INRUKA)