KRjogja.com - PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) akhirnya meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam beleid PP 25/2024 itu, pemerintah memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) diberikan kepada sejumlah ormas keagamaan. Jokowi mengatakan bahwa tujuan pemberian WIUPK adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Ormas Keagamaan
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pemberian prioritas izin tambang hanya berlaku untuk enam ormas keagamaan, meliputi: NU, Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Budha. Sedangkan, wilayah tambang yang akan diberikan adalah enam lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), meliputi: lahan bekas PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Kebijakan Jokowi itu lebih sarat kepantingan politik ketimbang kepentingan ekonomi, yang konon merupakan realisasi janji kampanye Jokowi. Pemberian WIUPK ditenggarai untuk meninggalkan legasi agar Jokowi tetap dijaga oleh umat Ormas Keagamaan pasca lengser sebagai RI-1 pada Oktober mendatang. Belum secara resmi WIUPK diserahkan ke NU, Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Addin Jauharuddin menyatakan, GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) akan bertindak bila ada pihak-pihak yang menyakiti Presiden Jokowi dan Keluarga.
Kebijakan pemberian WIUPK kepada Ormas Keagamaan sungguh sangat tidak tepat, bahkan cenderung blunder, paling tidak ada 3 alasan. Pertama, kebijakan itu berpotensi melabrak UUD 1945 dan UU Minerba. Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penguasaan oleh negara bisa diserahkan kepada BUMN, BUMD dan Perusahaan Swasta dengan kompensasi pembayaran royalte, pajak dan pungutan lainnya. Sedangkan distribusi hasilnya untuk kemakmuran rakyat harus dilakukan oleh negara melalui APBN, tidak bisa diserahkan kepada Ormas Keagamaan. Demikian juga dengan UU Minerba mengamanahkan pemberian prioritas lahan bekas hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD, bukan Ormas Keagamaan.
Kedua, Ormas Keagamaan tidak memiliki pengalaman, kapasitas dan kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Dalam kondisi tersebut, dengan berbagai cara diperkirakan Ormas Keagamaan hanya akan berperan sebagai broker alias makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaa tambang swasta. Ketiga, usaha pertambangan di Indonesia masih berada pada wilayah abu-abu (gray areas) yang penuh dengan tidak pidana kejahatan pertambangan hitam. Kalau Ormas Keagamaan harus menjalankan sendiri usaha pertambangan, tidak disangkal lagi Ormas Keagamaan akan memasuki wilayah abu-abu, yang berpotensi menyeret Ormas Keagamaan ke dalam dunia hitam pertambangan.
Kalau Pemerintah ingin meningkatan kesejahteraan rakyat melalui Ormas Keagaamaan caranya bukan dengan memberikan WIUPK. Namun, Pemerintah bisa memberikan PI (profitability index) kepada Ormas keagamaan, seperti yang dilakukan perusahaan pertambangan kepada Pemerintah Daerah. Pemberian PI lebih sesuai dengan kapasitas dan karakteristik Ormas keagamaan, tidak berisiko dan tidak berpotensi menjerumuskan Ormas Keagamaan ke dalam kubangan dunia hitam Pertambangan. Pemerintah sebaiknya membatalkan, paling tidak merevisi PP Nomor 25/2024 karena lebih besar madharatnya ketimbang manfaatnya. (Fahmy Radhi, Dosen DEB Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada dan Pengurus ISEI DIY)