KRjogja.com - Dunia SITI (Sistem Informasi dan Teknologi Informasi) di Indonesia baru saja dibikin heboh dengan kehadiran Starlink. Starlink adalah penyedia jasa Internet milik Elon Musk, orang terkaya di dunia yang juga pemilik perusahaan pembuat pesawat luar angkasa Space X.
Elon Musk menyempatkan diri hadir di Indonesia dalam peluncuran perdana layanan Starlink. Peluncuran ini tidak dilakukan di ibukota, tetapi di Puskesmas Pembantu Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (19/5/2024). Memang harapan CEO Space X tersebut adalah membantu daerah-daerah terpencil yang selama ini belum terjangkau jalur komunikasi dan Internet agar bisa setara dengan daerah-daerah lain, termasuk seperti di kota-kota besar.
Untuk dapat menikmati koneksi internet melalui Starlink, seorang pengguna perlu membeli perangkatnya dan membeli layanannya. Harga alatnya, seperti parabola tetapi berbentuk persegi empat, untuk layanan rumahan (residential) dan mobile (roam), harganya Rp7,8 juta dan biaya langganannya Rp750ribu dan Rp990 ribu. Untuk kapal (boats), perangkatnya seharga Rp43 juta lebih dan biaya langganan sekitar Rp4,3 juta lebih per bulan, hingga Rp86 jutaan per bulan.
Cara membelinya pun mudah, hanya melalui web starlink.com, Anda bayar dulu dengan kartu kredit, lalu bisa melakukan registrasi dengan e-mail. Hingga 10 Juni kemarin, harga perangkat didiskon 40% hingga menjadi sekitar Rp4,8juta. Anda harus menunggu sampai sebulan sebelum barangnya sampai. Tetapi jauh sebelum 10 Juni, persediaan sudah habis.
Untuk menginstalnya relatif mudah. Perangkatnya terdiri atas unit penerima seperti parabola, disambung dengan pemancar wifi melalui kabel sepanjang 15 meter, lalu dari pemancar ini disambung ke colokan listrik. Anda lalu instal aplikasinya cukup dari ponsel. Karena perangkat ini akan terhubung ke 5000an satelit Space X yang tersedia di langit, maka Anda harus memasangnya di udara terbuka. Dianjurkan ke arah selatan.
Selanjutnya alat akan mencari sendiri koneksi terbaiknya dan akan mencapai hasil maksimalnya setelah 15 jam. Meskipun dalam beberapa menit, Anda sudah dapat menikmati kecepatan hingga maksimum 300 MBPS download dan 40 MBPS upload. Jadi perangkat Starlink tidak cocok untuk Anda yang tinggal di apartemen atau di sekeliling daerah yang terdapat banyak gedung bertingkat tinggi.
Kecepatan ini terhitung sangat tinggi, bila dibanding dengan operator yang selama ini ada, yang biasanya up to 10-40 MBPS (download) dan 1-2 MBPS (upload). Belum lagi masih ada Fair Usage Policy (FUP), yaitu batas kewajaran penggunaan. Sementara Starlink tidak mengenal FUP ini.
Apabila Anda ingin menghubungkan dengan kabel LAN, misalnya untuk menghubungkan dengan jaringan CCTV Anda, maka Anda harus membeli routernya seharga Rp1jutaan. Namun Anda tidak boleh membagikan koneksi ini kepada tetangga kanan kiri, karena bakal diblokir dan Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Perangkat Anda tidak dapat dipakai lagi oleh orang lain.
Mengapa Heboh?
Starlink membuat heboh karena dikhawatirkan dapat mengganggu industri telekomunikasi dalam negeri. Bagaimana tidak, berbagai operator seluler sudah berinvestasi besar-besaran (triliunan) untuk mendirikan berbagai BTS, jaringan kabel fiber optik, lalu mendirikan berbagai kantor di berbagai kota, mengangkat ribuan karyawan dan teknisi. Itupun balik modalnya memerlukan waktu lama.
Sementara itu, investasi Starlink, seperti disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta Pusat, Selasa (11/6), cuma Rp30 miliar dan jumlah karyawannya cuma 3 orang. Hal ini sangat dimungkinkan karena untuk menginstal perangkat Starlink, hanyalah semudah mencolokkan kabel dan menaruh perangkat di halaman terbuka, atau di atap rumah. Tidak perlu teknisi, seperti pada jaringan Internet di rumah Anda selama ini.
Dari beberapa anggota DPR juga ada beberapa protes keras terhadap kehadiran Starlink yang sepertinya melalui jalur sangat istimewa, tanpa melewati beberapa proses perijinan, seperti Uji Layak Operasi (ULO) dan tanpa memiliki Network Operation Center (NOC). Starlink hanya mendaftarkan melalui OSS dan mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB ) dan itu sudah cukup. Belum lagi ada protes dari industri telko sendiri, yang tentu merasa tersaingi.
Namun perlu diingat, koneksi melalui satelit sangat terganggu oleh cuaca dan ini belum terbukti bagaimana di Indonesia. Dan sekali lagi pelajaran yang kita terima adalah, teknologi baru akan dengan mudah mengganggu atau bahkan membunuh teknologi yang sudah ada. Jadi kita harus bijak bagaimana agar tidak terlalu banyak pihak yang dirugikan. (Dr. Wing Wahyu Winarno, MAFIS adalah Dosen STIE YKPN Yogyakarta dan pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)