KRjogja.com - TIDAK dipungkiri bahwa naiknya US dollar dalam 2-3 bulan terakhir telah menjadi perhatian para investor dan pengambil kebijakan. Akankah bertahan lama? Sampai kapan? Berapa tinggi akan naik? Berbagai pertanyaan seputaran hal ini menyelimuti benak para mereka. Hal ini karena prediksi yang tepat mengenai nilai US dollar akan memperbaiki posisi keuangan mereka.
Dari sisi eksternal, naiknya nilai US dollar tidak lepas dari kinerja perekonomian makro yang baik and suku bunga yang tinggi di Amerika. Kedua faktor ini akan mendorong investor untuk menempatkan dananya di pasar Amerika. Oleh karena itu, permintaan akan US dollar menjadi naik yang menyebabkan nilainya semakin menguat. Penguatan nilai US dollar tidak hanya terhadap Rupiah, namun juga terhadap mata uang negara-negara partner dagang USA, seperti Eropa, Jepang dan China.
Manfaat besar dari menguatnya US dollar tentu dinikmati oleh para konsumen Amerika. Dengan menguatnya US dollar dibanding mata uang partner dagangnya maka Amerika sekarang bisa mengimpor dengan harga yang menjadi lebih murah. Hal ini penting bagi Amerika mengingat selama ini impor mereka selalu lebih besar dari ekspornya. Konsumen Amerika juga bisa menjadi turis dengan daya beli yang lebih tinggi, karena nilai US dollar yang semakin menguat tersebut. Apakah ini upaya pemerintah Biden agar menang pemilu November mendatang? Wallahu a’lam. Yang jelas konsumen Amerika diuntungkan dengan naiknya US dollar ini.
Baca Juga: Kata Leo Tupamahu Setelah Ditunjuk Jadi Manajer di PSS
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita terkena imbasnya? Tingginya suku bunga di Amerika memang menarik bagi investor untuk menempatkan dana mereka di sana, membeli obligasi Amerika. Kita pantas untuk mewaspadai, karena larinya investor ke luar negeri, berburu dollar, bisa mengganggu pasar uang di dalam negeri. Biaya produksi yang menggunakan bahan impor juga meningkat, termasuk impor BBM, sehingga anggaran subsidi bisa membengkak.
Faktor eksternal tersebut dibarengi dengan kondisi yang penuh “menunggu” adanya pergantian kepemimpinan di dalam negeri bulan Oktober dan berakhirnya tahun anggaran. Akibatnya dunia usaha di dalam negeri yang bergantung pada anggaran pemerintah akan menunggu, hingga tahun anggaran baru 2025. Dengan kondisi ini, tidak aneh kalau investor sementara akan memarkirkan dananya di luar negeri.
Di samping pesimisme, terdapat peluang dari naiknya US dollar. Amerika merupakan tujuan ekspor non migas kedua setelah China. BPS mencatat Ekspor bulan Mei lalu untuk nonmigas terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$4,73 miliar, disusul Amerika Serikat US$2,18 miliar, dan India US$1,95 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 42,39 persen. Ini berarti bahwa kesempatan bagi produsen Indonesia untuk melakukan ekspansi dan menangkap peluang pasar Amerika. Hal ini mengingat bahwa Federal Reserve (Bank Sentral USA) nampaknya tidak akan menurunkan suku bunga dalam jangka pendek, dan masih ingin menikmati kejayaan ekonomi USA, minimal sampai tahun baru 2025 (2 bulan setelah pemilu AS bulan November). Dalam enam (6) bulan ke depan prospek ekonomi Amerika masih menaik.
Baca Juga: Pemkot Gaungkan Gerakan Anti Korupsi di Sekolah
Bagaimana dengan turis Amerika? BPS mencatat kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1.036.037 pada Maret 2024, dengan trend yang meningkat (meskipun masih belum setinggi masa sebelum Covid), namun sudah lebih tinggi 38 persen dari tahun lalu. Di luar turis dari Kawasan Asia dan Australia, turis dari Amerika memiliki jumlah paling tinggi (mencapai 30 ribu orang pada bulan Februari). Sementara di Yogya, jumlah turis Amerika dalam 4 bulan terakhir mencapai 800-an wisman, paling tinggi diikuti Belanda dan Jerman, masing-masing sekitar 580 wisman. Kemenparekraf sendiri menargetkan kunjungan 406.470 wisman di tahun 2024 (naik 226 persen dari 2023, 124.700 wisman). Oleh karena itu, kita mempersiapkan diri menyambut mereka.
Ada dua sisi, pesimis dan optimis dari naiknya nilai dollar. Kita fokus pada sisi optimis di atas, yaitu meluasnya pasar ekspor dan antisipasi naiknya wisatawan asing. Kedua sektor ini adalah lahan para investor di sektor riil yang setia yang perlu diberikan insentif. Berbeda dengan dorongan untuk menaikkan suku bunga Bank Indonesia dalam rangka mencegah larinya dana ke luar negeri (karena berburu dollar), sebaiknya justru didorong supaya suku bunga kredit menurun dan diberikan kemudahan investasi tambahan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi pengusaha agar bisa memanfaatkan momentum meluasnya pasar ekspor dan antisipasi naiknya jumlah wisatawan. Dengan demikian, momentum naiknya dollar ini bisa memberikan pencerahan bagi perekonomian dalam negeri.(Catur Sugiyanto, Profesor Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM serta Anggota Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)