Iuran Pariwisata

Photo Author
- Rabu, 3 Juli 2024 | 06:30 WIB
Dr. Suparmono, M.Si. Ketua STIM YKPN, Pengurus ISEI Yogyakarta, dan Peneliti Senior Sinergi Consulting Group.
Dr. Suparmono, M.Si. Ketua STIM YKPN, Pengurus ISEI Yogyakarta, dan Peneliti Senior Sinergi Consulting Group.


IURAN dana pariwisata yang akan dibebankan ke tiket pesawat menjadi polemik yang merebak sejak akhir April tahun ini. Pembebanan ini tentunya akan menaikkan harga tiket pesawat yang akhirnya akan menurunkan minat wisata dan okupansi pendukung pariwisata. Terlebih moda transportasi lain seperti kereta dan bus juga berbenah dalam kualitas pelayanan, yang mungkin saja mengganggu industri perusahaan angkutan udara.

Siapa yang akan dikenakan pungtan ini, apakah wisatawan yang berlibur saja, atau termasuk semua yang membeli tiket penerbangan. Akan sulit membedakan penumpang dengan tujuan pariwisata atau tujuan lain bila pungutan ini dikenakan untuk semua destinasi penerbangan. Kalaupun destinasi tersebut merupakan destinasi pariwisata, bahkan destinasi pariwisata prioritas sekalipun, tujuan penerbangan setiap orang akan berbeda.

Dengan tarif penerbangan yang saat ini diterapkan pada industri oligopoli inipun, konsumen sebagian masih mengeluhkan tingginya harga tiket pesawat. Belum lagi bagi penumpang yang lintas pesawat, akan terkena beban tambahan yang signifikan. Perjalanan wisata akan jadi lebih mahal, diprediksi akan menurunkan minat berwisata.

Baca Juga: Kemendibudristek Evaluasi Pemda untuk Penyempurnaan PPDB 2024

Memang pemerintah ingin meniru pemungutan iuran pariwisata ini untuk membentuk dana abadi pariwisata atau Indonesia Tourism Fund (ITF) seperti yang dilakukan negara lain.

Pembentukan dana abadi pariwisata ini bertujuan mendukung penyelenggaraan ajang promosi pariwisata di Indonesia. Tahap awal dana pariwisata yang dikelola ialah Rp 2 triliun yang akan diambilkan dari APBN. Dana ini akan digunakan untuk menggerakkan event-event lokal hingga internasional, dengan harapan dapat meningkatkan jumlah wisatawan sehingga mampu membawa dampak penciptaan lapangan kerja yang lebih luas lagi.

Di Singapura, pemerintah memang memberikan pendanaan untuk sektor pariwisata, pada 2021 ketika pariwisata terdampak pandemi covid-19, ada tambahan dana 68,5 juta dolar Singapura.

Bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, bila rencana peraturan presiden ini diterapkan, tentunya akan sangat berdampak dan itu jelas merugikan. Industri pariwisata DIY baru bangkit di tahun 2023 dengan 10.486 kunjungan wisman dari tahun sebelumnya yang hanya 12.136 kunjungan. Mengembalikan kondisi dari tahun 2017 sebelum pandemi yang 145.673 kunjungan akan menjadi sulit.

Baca Juga: Invervensi Serentak Pencegahan Stunting Telah Mencapai 95,15 Persen Selama Bulan Juni 2024

Padahal industri dan usaha turunan dari sektor pariwisata ini sangat beragam, mulai dari makanan dan minuman, penginapan, souvenir, UMKM, dan turunan lain secara langsung maupun tidak langsung.

Pun demikian, sebagai kota Pendidikan, kedatangan mahasiswa ke DIY tentu bertujuan untuk menempuh pendidikan dan itu akan bertahan rata-rata empat tahun.

Dengan rata-rata jumlah mahasiswa baru yang masuk 62 ribu per tahun yang tersebar di seratus perguruan tinggi, kebijakan ini tentunya akan memberatkan.

Sudahlah mengacu ke peraturan penetapan tarif yang sudah dibuat saja oleh pemerintah.

Biarkan tarif tiket pesawat ditentukan jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tuslah/tambahan sebagaimana UU Penerbangan pasal 12. Pemerintah dapat mencari sumber pendanaan lain untuk pengembangan pariwisata dengan cara yang kreatif dan inovatif, toh semua orang akan membutuhkan wisata, entah itu berbada dari kualitas dan kuantitasnya.

Baca Juga: Bawa Clurit dan Pedang, Polisi Gagalkan Tawuran Antar Genk

Pariwisata berkualitas yang merupakan upaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bisa menjadi sumber pendanaan untuk mengembangkan pariwisata tanah air. Meskipun ini masih dianggap sebuah wacana oleh kementerian terkait, dan isu ini mulai mereda, tapi penggiat, pelaku, das stakeholder pariwisata perlu untuk mengkritisi wacana ini. Jangan sampai yang sekarang dianggap sebuah wacana, nantinya tiba-tiba menjadi peraturan yang tidak kuasa ditolak oleh masyarakat. Tentunya kekhawatiran dan sikap kritis ini belajar dari pengalaman terdahulu. (Dr. Suparmono, M.Si. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM YKPN Yogyakarta), Pengurus ISEI & Kafegama DIY, Peneliti Senior Sinergi Visi Utama Consulting)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X