KRjogja.com - KOTA YOGYA dikenal sebagai salah satu kota yang kaya dengan ide penyelenggaraan festival. Namun, produk di balik penyelenggaraan aneka festival itu, hingga kini belum ditemukan solusinya, yaitu “sampah”. Upaya mencari solusi terkait sampah telah banyak dilakukan para pihak terutama Dinas Lingkungan Hidup untuk mencari jalan terbaik, namun upaya tersebut nampaknya belum menemukan frekuensi yang sama.
Berbicara tentang sampah tidak bisa lepas dari segala aktivitas manusia, baik secara personal maupun secara komunal. Tidak hanya dinas terkait, dari pedagang, guru, masyarakat, hingga seniman pun punya tanggung jawab untuk mencari pemecahan masalah tersebut. Dari satu jenis kegiatan festival seni saja bisa kita lihat dampak yang dihasilkan berupa timbunan sampah yang bisa mencapai hitungan bobot ton. Di sisi lain tempat pembuangan sampah makin sulit didapat, terutama di kota Yogyakarta. Kenyataan itu membuktikan bahwa perbandingan antara supply dan demand (antara produksi sampah dengan tempat penampungan sampah) sudah tidak seimbang lagi. Sungguhpun Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta, telah melakukan sosialisasi, hingga pembentukan forum bank sampah tingkat kelurahan hingga kota. Bagaimana hasilnya?
Edukasi Sampah
Bagaimana langkah strategis dan integratif untuk menyelesaikan masalah sampah. Penyadaran mendasar melalui edukasi kepada masyarakat sejak dini. Pendidikan formal dalam hal ini, memiliki tanggung jawab memberikan pelajaran kedisiplinan, ketertiban, dan kebersihan yang teritegrasi dalam sebuah kurikulum. Sektor inilah menjadi investasi generasi muda tentang pentingnya kesadaran lingkungan yang bersih. Dengan demikian permasalahan sampah tidak hanya “dibicarakan” dengan gagasan yang tidak rasional, spontan, bahkan improvisasi untuk kepentingan “sesaat”. Untuk mencapai misi tersebut, perlunya membangun relasi pada diri, sesama, dan lingkungan dari yang sifatnya horizontal maupun vertikal harus diwujudkan. Ini adalah maklumat makna sastra profetik, yang di dalamnya terdapat pemahaman amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam tinjauan ekonomi sirkuler, sampah menjadi barang bekas dan tidak bermanfaat lagi. Dalam konteks ini manusia “pembuat sampah” harus bertanggung jawab. Menyadarkan masyarakat Jogja untuk bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan sebagai kesadaran ekokritik terhadap lingkungan sekitar (Suminto A. Sayuti). Penyadaran tentang sampah melalui pemahaman tembang Jawa adalah edukasi yang luar biasa. Kita ingat lirik tembang Subakastawa Ki Narto Sabdo terdapat penggalan kata-kata sebagai berikut: ... e lha indah temen megane, putih memplak payunge. Pada bagian lain ada kata kata “… per pleper manuke mabur”. Per pleper manuke mabur itu bermakna sindiran untuk manusia, yang kadang ada manusia yang meninggalkan atau membuang sampah, pergi tanpa bertanggung jawab seperti halnya burung liar. Inilah edukasi yang harus kita sampaikan melalui pembelajaran seni, agar sampah-sampah tidak “menari” ke mana-mana.
Festival Sampah
Silang sengkarut masalah sampah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya perlu satu pemecahan yang terpadu dan kontekstual dengan prinsip sawiji greget, sengguh dan ora mingkuh. Itu semua dapat diwujudkan melalui Festival “Sampah”. Dalam kegiatan ini semua lapisan masyarakat akan fokus memanfaatkan sampah untuk tampil dalam sebuah festival. Mereka akan hadir dengan kreasinya masing-masing agar menghasilkan produk estetik. Dengan festival ini sentuhan estetik akan dimunculkan sebagai wujud pertanggungjawaban manusia atas sampah yang telah dilahirkan di rumah maupun di lingkungan masing-masing.
Contoh di Festival Sendratari se-DIY (2016) muncul kreasi kostum tari dengan bahan limbah sampah. Bahkan di tahun 1998, mendiang Martinus Miroto (koreografer) pernah membuat karya tari “Kembang Sampah”. Ketika itu kegelisahan seniman tari ini terkait kondisi sekitar sungai yang penuh dengan buangan sampah. Kritik sosial melalui karya tari itu mendapat respons positif dari pemerintah daerah.
Dengan festival sampah kita bisa mengedukasi masyarakat, tidak hanya melalui pertunjukan, pameran karya dengan bahan baku sampah, namun semua produk yang mampu menghadirkan sampah estetik. Gerakan ini menghadirkan produk kreatif dan unik. Realitas di pasar, masyarakat Eropa tertarik dengan produk-produk unik tersebut. Ini artinya produk sampah estetik bisa menjadi komoditas ekonomi. (Prof. Dr. Kuswarsantyo, M.Hum., Guru Besar FBSB UNY, Pengamat Budaya)