KRjogja.com - DARI awal Januari 2024 hingga jelang peringatan hari kemerdekaan, tercatat banyak tokoh masyarakat yang diberi amanah sebagai pejabat publik: kepala, direktur, anggota dewan, dirjen dan menteri, terjebak pada fenomena asbun (asal bunyi). Hal itu mereka lakukan saat mengemukakan pendapat atau pemikirannya yang ditujukan kepada warga masyarakat.
Apa yang terjadi kemudian?
Atas fenomena asbun itu memunculkan kegaduhan sosial di ranah publik maupun di medsos. Diksi asbun yang dilontarkan pejabat publik menjadi kata sekaligus frasa trending topik di atmosfer jagat raya maupun jejak digital algoritma jagat maya.
Diksi asbun yang diucapkan sempat ngetop di antaranya: Tapera, UKT, IKN, Bansos. Sekarang muncul lagi diksi dan frasa yang dilontarkan pejabat publik setingkat menteri koordinator. Ia melontarkan pemikirannya dengan menyebutkan pelaku judi online akan mendapatkan bansos.
Pemikiran yang kontroversial itu didasarkan alasan kemanusiaan karena banyaknya pelaku judi online yang bangkrut ekonominya.
Baca Juga: Kolaborasi Penyedia Air Minum Perpipaan dalam Pemenuhan Hak Rakyat atas Air di DIY
Warga masyarakat dan warganet langsung merujak sekaligus mengejek sang Menko. Warganet merencanakan membuat aksi massal menjadi penjudi online secara bersama-sama. Tujuannya? Agar mendapatkan bansos dari pemerintah. Saat memperoleh serangan virtual secara masif di linimasa medsos. Sang Menko buru-buru meralat pernyataannya.
Apakah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak! Ia masih rajin melontarkan pernyataan sebagai representasi pemikirannya yang kontroversial. Apakah itu?
Ia mengumandangkan gagasannya agar perguruan tinggi menjual undangan dengan harga mahal untuk prosesi wisuda. "Perguruan tinggi silakan memanfaatkan wisuda dengan biaya tinggi untuk mencari pemasukan, khususnya bagi perguruan tinggi swasta," usul Muhadjir Effendy Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam raker bersama Komisi X DPR RI, pekan kemarin.
Belakangan ini, banyak pejabat publik mengeluarkan pernyataan atau komentar tanpa dilandasi dengan pemikiran matang. Mereka termasuk golongan apa? Bagi mereka yang asbun dalam berpendapat, apalagi mengeluarkan kebijakan sepihak, dikategorikan pejabat publik yang mengedepankan sifat adigang, adigung, adiguna.
Tabiat buruk pejabat publik senantiasa mengagungkan diri lewat kekuatan fisik, jabatan, dan kepandaiannya. Warga masyarakat dan warganet menilai pejabat publik seperti itu menjadikan jabatannya bukanlah sebuah amanah. Mereka tidak membaktikan diri sebagai pelayan masyarakat.
Baca Juga: Pj Bupati Kulonprogo Ingatkan Pedagang Jangan Berurusan Dengan Koperasi Tak Resmi
Mengapa demikian? Karena jabatan yang disandangnya tidak dianggap sebagai amanah. Mereka senantiasa memparodikan nasihat luhur nenek moyang yang semula tertulis: sepi ing pamrih, rame ing gawe diubah menjadi sepi ing gawe, rame ing pamrih. Maknanya, pejabat publik seperti itu representasi dari pribadi serakah. Maunya untung sendiri. Hidup nyaman tanpa mau berupaya keras untuk menyejahterakan dan mengayomi rakyatnya.
Agar pejabat publik dalam setiap gerak langkahnya tidak asbun, apa yang harus dilakukan? Sudah sewajarnya mereka menerapkan falsafah nginang. Ritual mengunyah sirih diawali melinting daun sirih hijau. Di dalamnya diisi secuil gambir. Lalu diolesi injet (gamping yang dicairkan).
Rangkaian berikutnya, mengunyah daun sirih sampai lumat. Apa Maknanya? Secara semiotika, pejabat publik sebelum mengucapkan dan mengeksekusi sebuah keputusan, harus mengolah berbagai hal yang berasal dari berbagai sumber secara bijaksana.