Berburu Profesor

Photo Author
- Sabtu, 13 Juli 2024 | 10:50 WIB
Dr. Wing Wahyu Winarno
Dr. Wing Wahyu Winarno


KRjogja.com - LAGI, dunia pendidikan tinggi di Indonesia diterpa badai tak sedap. Setelah sebelumnya ada kenaikan UKT ugal-ugalan oleh banyak PTN, disusul pencopotan Dekan Fakultas Kedokteran karena diduga menolak kebijakan Menkes untuk mendatangkan dokter-dokter asing, kini gempar karena pemberian gelar Profesor kepada orang-orang yang mestinya tidak berhak.

​Tahun 2024 ini diawali dengan hebohnya seorang Dekan di Jakarta yang bisa menerbitkan makalah lebih dari 160 judul di berbagai jurnal hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Itupun ditambahi dengan memasukkan nama-nama dosen di luar negeri tanpa memberi tahu apalagi minta ijin. Dosen tersebut akhirnya diberi ucapan selamat karena menjadi Profesor termuda ketiga di LLDikti III DKI.

Muncul lagi masalah baru, tiga orang politisi tiba-tiba mendapat gelar Profesor. Selain itu, juga ada kabar menghebohkan, karena diduga ada 11 Dosen dari Fakultas Hukum sebuah universitas besar, mendapatkan gelar Profesor dengan cara-cara tidak etis.

Baca Juga: ATR/BPN Terima Penghargaan Anugerah One Map Policy

Sontak muncul beberapa reaksi dari masyarakat, terutama dari kampus-kampus. Mengapa? Karena menurut UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No. tentang Guru dan Dosen, yang berhak mendapat sebutan (atau lebih tepatnya: jabatan akademik) adalah Dosen aktif yang bekerja di suatu perguruan tinggi. Jabatan akademik ada empat, yaitu Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Profesor (atau Guru Besar).

Namun pada tahun 2021, terbit Permendikbudristek No. 38/2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Di dalam aturan ini, profesor kehormatan tidak diberikan untuk dosen, melainkan untuk orang non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa. Nah, di sinilah sulitnya menentukan seperti apa kompetensi yang luar biasa itu. Yang jelas, sudah ada dua mantan Presiden RI yang mendapat “anugerah” Profesor Kehormatan dan baru-baru ini ada tiga politisi yang juga mendapat gelar tertinggi di dunia akademik ini.

Mengapa heboh?​ Bagaimana tidak, untuk mendapatkan pangkat Profesor, seorang Dosen harus punya ijasah S3, sudah menjadi dosen minimal 10 tahun, berarti bekerja aktif di sebuah perguruan tinggi, lalu harus memenuhi angka kredit Tri Dharma PT, yang terdiri atas bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan publikasi, pengabdian masyarakat dan kinerja lainnya.

Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Resmi Rilis Laporan Kinerja Tahun 2023, Ini Dia Prestasinya

​Salah satu syarat yang dianggap sangat berat adalah harus menerbitkan makalah di jurnal terakreditasi internasional, yaitu Scopus atau Web of Science. Di Scopus ada empat kasta, mulai dari yang tertinggi yaitu Q1, Q2, Q3 dan Q4. Untuk publikasi di Q1, ada biaya resminya yang rata-rata Rp 25 juta ke atas, sedang Q4 sekitar Rp10 juta ke atas. Memang ada yang gratis, tapi seperti dunia dagang, ada harga, ada rupa. Meskipun seorang dosen sudah menerbitkan artikel di sana, ketika dia sendiri akan mengunduh artikelnya sendiri, tetap dikenai biaya sekitar $20-$40. Karena relatif sulit, maka muncullah bisnis pendampingan atau bahkan pembuatan paper sampai publikasi ini.

Pembuatan satu paper sampai terbit tarifnya puluhan hingga ratusan juta Rupiah. Bagi sebagian orang, aturan ini merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dan bisa kaya mendadak. Meskipun tidak etis, tetapi tidak melanggar hukum, atau paling tidak, sulit dilacak. Apalagi dengan bantuan AI, pekerjaan menjadi semakin mudah.

​Nah, para dosen susah payah menggapai gelar Profesor, tetapi ternyata orang-orang non-dosen, dapat dengan mudah dan cepat mendapat gelar Profesor Kehormatan.

Baca Juga: Dosen PKnH UNY Beri Pemahaman Perlindungan Hak-Hak Anak Siswa SMAN 1 Singaparna

Mengapa Diburu?

​Menurut Abraham Maslow (1943), ada empat tingkatan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dasar (makan, sehat), kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial (berkelompok), dan tertinggi adalah kebutuhan mendapatkan penghargaan. Beberapa tahun lalu ada tren sebagian orang mencari gelar bangsawan dari sebuah kraton, karena dianggap dapat meningkatkan wibawa, meskipun tidak ada pertalian darah dengan keluarga kraton. Entah bagaimana caranya.

​Kemudian bergeser ke gelar Doktor, tetapi karena diperoleh tanpa perjuangan akademik, maka gelarnya Dr. HC, tidak apalah.
Maka beberapa seniman dan politisi berusaha mendapatkannya. Kini muncul tren baru, pada mencari Profesor Kehormatan. Semoga tidak perlu menjadi tren, pada tergila-gila pada gelar Anumerta. (Dr Wing Wahyu Winarno MAFIS, Dosen STIE YKPN Yogyakarta dan Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X