KRjogja.com - DALAM waktu dekat akan dilakukan pergantian pemerintahan dari Presiden Jokowi ke Presiden (terpilih) Prabowo Subianto. Seiring dengan bergantinya kepemimpinan tersebut, salah satu hal yang mendapat sorotan tajam diantaranya terkait dengan besarnya utang pemerintah, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun utang luar negeri. Namun, pembahasan kali ini hanya difokuskan pada utang luar negeri (ULN). Hal ini dikarenakan, selain nilainya mencapai USD408,6 miliar (BI, per Juni 2024), utang dalam valuta asing ini rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Meski sudah sedemikian besar, diyakini Indonesia masih tetap membutuhkan ULN untuk menutup tiga celah defisit, yakni ketersediaan dana domestik belum mencukupi untuk membiayai investasi (saving investment gap / I > S), kebutuhan untuk menutup kekurangan pembiayaan akibat pengeluaran pemerintah lebih besar dari peneriman (budget deficit / G > T) dan kebutuhan untuk menutup defisit transaksi berjalan (current account deficit / X < M).
ULN pemerintah sebagian besar digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti proyek jalan tol, bandara, pelabuhan, waduk, jaringan irigasi, penyediaan listrik, sekolah, sarana kesehatan dan proyek strategis lainnya. Sedangkan ULN swasta digunakan untuk membiayai ekspansi usaha. Jika dikelola dengan tepat, ULN akan berdampak positif yang memberikan multiplier efek besar bagi perekonomian, kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan.
Namun, jika tidak dibatasi, sementara pada periode yang sama utang domestik juga terus bertambah, maka terjadi pertumbuhan ekonomi yang dipacu menggunakan utang (debt-lead-growth). Hal ini patut diwaspadai, karena dapat terjebak ke dalam perangkap utang dan bisa menimbulkan krisis utang (debt crisis). Oleh karenanya, perlu seleksi dan pengawasan ketat terhadap ULN. Pengalaman krisis 1997/98 menjadi pelajaran berharga, agar tidak terjadi lagi mismatch dan penggunaan ULN untuk kegiatan yang tidak menghasilkan devisa, terutama pada ULN swasta.
Berdasarkan data yang di-release kepada publik, ULN Indonesia pada Mei 2024 tercatat USD 407,3 miliar, turun 0,4 persen (yoy) dari posisi 2023. Penurunan terjadi baik pada ULN pemerintah maupun swasta. Untuk utang pemerintah penurunan terutama terjadi pada utang jangka pendek (-34,3 persen), yang dikarenakan adanya penyesuaian penempatan dana milik pihak asing/non resident pada SBN domestik. Sementara pada utang jangka panjang turun tipis. Sebaliknya, penurunan ULN swasta justru terjadi pada utang jangka panjang (-3,2 persen), yang disebabkan menurunnya kebutuhan pembiayaan untuk ekspansi usaha. Kedua fenomena ini mencerminkan ketidakpastian global dan kelesuan usaha pada perekonomian domestik saat ini.
Hampir separuh ULN Indonesia (49,1 persen) merupakan utang pemerintah, sedangkan utang swasta (48,5 persen) dan selebihnya merupakan ULN Bank Sentral. Sebagian besar dari utang swasta (80,4 persen) merupakan utang perusahaan Bukan Lembaga Keuangan (nonfinancial corporations).
Ditilik dari tenornya, mayoritas ULN Indonesia merupakan utang jangka panjang (81,8 persen). Sedangkan yang berjangka pendek/sampai dengan satu tahun menurut jangka waktu sisa per Mei 2024 sebesar USD74,4 miliar (18,2 persen), dengan rincian USD19,6 miliar merupakan utang pemerintah dan Bank Sentral, serta USD54,8 miliar merupakan utang swasta. ULN jangka pendek tersebut harus dibayar dalam jangka waktu satu tahun kedepan, dengan asumsi tidak di rollover.
Sementara itu menurut data per Maret 2024, rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu sisa terhadap cadangan devisa sebesar 49,2 persen. DSR (debt service ratio) tahunan Tier-1 dan Tier-2 masing-masing 17,4 persen dan 38,2 persen. Rasio utang terhadap ekspor sebesar 129,1 persen, sedangkan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,3 persen.
Melihat dinamika utang dan berbagai indikatornya, nampak ULN Indonesia masih terkendali. Kedepan, untuk meminimalkan risiko, perlu pengelolaan utang yang lebih prudent dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Pengamat Ekonomi. (Miyono Muhammad, SE, ME
Anggota ISEI – Cabang Yogyakarta)