Kepemimpinan Kultural

Photo Author
- Jumat, 20 September 2024 | 22:10 WIB
Dr Haryadi Baskoro.
Dr Haryadi Baskoro.


KRjogja.com - KETIKA ada pemimpin bermasalah, kebudayaanlah yang sering menjadi korbannya. Itulah yang terjadi di kancah kepemimpinan nasional hari-hari ini sebagaimana terindikasi dari maraknya sindiran-sindiran sarkastik tentang Sang Raja Jawa, Machiaveli Jawa, dan seterusnya. Keburukan penguasa dianggap sebagai representasi dari keburukan kebudayaannya sehingga lantas terlontar ungkapan-ungkapan stigmatik etnosentris: “Dasar Batak! Dasar Jawa! Dasar Dayak! Dasar Cina!”

Semakin Keistimewaan Yogya diidentikkan dengan keluhuran budaya maka semakin berat tuntutan bagi para pemimpinnya. Jika ada pemimpin di Yogya yang terjerat karus korupsi misalnya, orang langsung berkata: “Katanya istimewa, kok korupsi?” Ketika ada pemimpin yang berperilaku buruk, publik apalagi netizen langsung mengkonfrontasikannya dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi di Yogya.

Pengarusutamaan pada kepemimpinan kultural di Yogya mengandung setidaknya dua potensi bahaya. Pertama, bahaya kemunafikan. Pemimpin hanya merekayasa perilaku dan karakternya sebagai seolah-olah berbudaya luhur. Bahasanya halus, bahkan fasih krama hinggil. Perilaku dan busananya santun bahkan bernuansa adat-istiadat yang kental. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pun mengedepankan seni budaya dan kearifan lokal. Namun sejatinya ia pragmatis, oportunis, hedonis, korup, bahkan licik dan jahat.

Baca Juga: Lestarikan Situs Budaya, IDM Siapkan Remasterplan Kawasan Candi Borobudur

Pemimpin munafik menggunakan kebudayaan sebagai tameng atau kedok kejahatannya. Rakyat terkelabuhi oleh citra perilaku, tindak-tanduk, dan tutur bahasanya yang halus, luhur, dan mulia. Apalagi jika daya kritis masyarakat rendah dan dipenuhi rasa sungkan (ewuh pakewuh) maka kepemimpimpinan munafik terus bertumbuh dengan suburnya. Masyarakat permisif dan pemaaf menjadikan jejaring pemimpin munafik berkembang biak.

Kedua, bahaya penyalahgunaan dengan cara pemelintiran atau pemutarbalikan kebudayaan untuk kepentingan kekuasaan. Karena kebudayaan bersifat multi tafsir maka penguasa terkadang melakukan permainan tafsir kebudayaan untuk kepentingannya sendiri. Filosofi, ajaran, dan sistem nilai dimaknai sedemikian rupa untuk membenarkan diri dan memperlancar kekuasaannya.

Menurut catatan Ariobimo Nusantara (1999). Sultan Hamengku Buwono X pada momentum Reformasi 1998 mengkritisi sang penguasa rezim Orde Baru sebagai pemimpin yang cenderung menyalahgunakan kebudayaan dengan cara memutarbalikkan filosofi Jawa untuk membenarkan dirinya sendiri. Filosofi mikul dhuwur mendem jero yang bemakna anak wajib menjunjung tinggi (mikul dhuwur) orangtua dan menutupi (mendhem jero) kekurangannya dipelintir menjadi rakyat wajib memuja pemmpin dan menutupi dosa-dosa korupsinya. Filosofi ora ilok yang bermakna tindakan yang tidak pantas disematkan hanya kepada rakyat. Filosofi mbeguguk ngutho waton yang berarti keras kepala dikenakan kepada rakyat yang berdemo sehingga mereka harus digebug.

Baca Juga: Berikut Prakiraan Cuaca Di DIY Tanggal 21, 22 dan 23 September 2024

Mengkritisi kemunafikan dan penyalahgunaan kebudayaan para pemimpin dan sangatlah penting untuk menjaga martabat kebudayaan itu sendiri. Sekaranglah waktunya bagi para budayawan, para sesepuh adat, termasuk para peneliti dan ahli ilmu budaya untuk mengevaluasi dan menilai kualitas kepemimpinan kultural para pemimpin. Ketika para penegak hukum tak kuasa menegur dan mengahakimi kesalahan para pemimpin, para penegak kebudayaan harus berani bertindak tegas menegakkan nilai-nilai, etika, moral, dan filosofi.

Jika Yogya Istimewa dan Indonesia tetap berkomitmen untuk membangun kepemimpinan kultural maka hal itu harus dibarengi dengan penguatan mekanisme kontrol yang kuat. Hal itu tidak selalu berarti bahwa kita harus membakukan sistem nilai, etika, moral, dan filosofi menjadi aturan-aturan hukum yang rinci, baku, dan kaku.

Pendidikan budaya, dalam hal ini Pendidikan Khas Ke-Jogja-an (PKJ) harus menjadi basis pengkaderan kepemimpinan kultural. Output pendidikan ini jangan hanya sebatas menjadikan pembelajar paham tentang nilai-nilai luhur tetapi cakap untuk menerapkannya dalam kehidupan dan kepemimpinan. Penguatan dan regenerasi kepemimpinan kultural yang unggul adalah kunci keberlanjutan Keistimewaan Yogya. (Dr Haryadi Baskoro pakar Keistimewaan Yogya)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X