Pentingnya Likuiditas dan Diversifikasi

Photo Author
- Jumat, 20 September 2024 | 23:10 WIB
Wimpie Yustino Setiawan, SE., M.Comm., MPA.
Wimpie Yustino Setiawan, SE., M.Comm., MPA.

KRjogja.com - Humpty Dumpty sat on a wall.
                     Humpty Dumpty had a great fall.
                     All the king's horses and all the king's men
                     Couldn't put Humpty together again.

Humpty Dumpty dalam lirik lagu anak-anak seringkali dijadikan metafora untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kejatuhan dan sulit untuk pulih kembali. Lirik tersebut mungkin juga cocok untuk menggambarkan kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) di tahun 2023 lalu, yang pada saat itu merupakan kejatuhan bank terbesar kedua dalam sejarah Amerika Serikat setelah kolapsnya Washington Mutual pada krisis keuangan 2008. Artikel ini akan melihat kembali kasus SVB dari tiga perspektif, yaitu permodalan, risiko, dan likuiditas, serta mengambil pelajaran berharga dari kasus tersebut.

Banyak krisis finansial bank dipicu oleh masalah kesulitan permodalan. Namun, dalam laporan keuangan SVB ke Securities and Exchange Commission (SEC), tier-1 risk-based capital ratio sebesar 14,89% dan 15,26% untuk tahun 2021 dan 2022, jauh lebih tinggi daripada ketentuan minimum Tier-1 sebesar 6% menurut Basel III, mengindikasikan bahwa SVB memiliki permodalan yang relatif kuat.

Baca Juga: Pj Gubernur Agus Fatoni Sebut Seluruh Panitia Telah Bekerja Keras dalam Pelaksanaan PON XXI

Dari sudut padang risiko kredit, SVB memiliki rasio non-performing loan (NPL) sebesar 0,14% pada akhir tahun 2021 dan 0,18% pada akhir tahun 2022, dimana rasio ini masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata NPL di Amerika Serikat 0,81% untuk tahun 2021 dan 0,72% pada tahun 2022. Dengan demikian, kredit bermasalah juga bukan merupakan penyebab kejatuhan SVB.

Namun demikian, hal yang menarik dijumpai ketika melihat likuiditas SVB. Jumlah kredit bersih pada tahun 2021 dan 2022 adalah $65.854 dan $73.614 juta dollar, sedangkan nilai simpanan nasabah adalah $189.203 dan $173.109 juta dollar, sehingga loan-to-deposit ratio (LDR) bank adalah 34,8% (2021) dan 42,5% (2022). Dalam banyak kasus, LDR yang melebihi 100 persen sering menyebabkan bank terlilit masalah likuiditas dan menjadi gejala awal kebangkrutan. Namun dalam kasus SVB, LDR yang rendah menunjukkan bahwa bank sepertinya memiliki likuiditas yang tinggi. Namun di sisi lain, hal ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa SVB mengalami kesulitan untuk menyalurkan simpanan nasabah menjadi kredit.

Akan tetapi, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian besar dana simpanan nasabah diinvestasikan dalam bentuk US Treasury, yaitu obligasi pemerintah dengan jatuh tempo 20-30 tahun, yang dibeli ketika tingkat suku bunga hampir nol persen. Sebagaian besar dana ini berasal dari uang yang disimpan oleh para nasabah SVB yang merupakan perusahaan-perusahaan start-up teknologi dan menikmati keuntungan besar dari bisnis mereka selama masa pandemi COVID-19.

Baca Juga: Hokky Caraka Ceritakan Alasan Menangis Tersedu Setelah Cetak Gol ke Gawang Arema

Hal ini menjadi masalah besar ketika tahun 2022 The Fed, sebagai bagian dari strategi untuk mengatasi inflasi, menaikkan tingkat suku bunga secara sangat cepat dan menyebabkan US Treasury yang dimiliki oleh SVB mengalami penurunan nilai yang signifikan. Para nasabah SVB, yang bisnisnya kini mengalami kelesuan, mulai menarik dana mereka untuk menutup beban usaha, dan merasa khawatir karena banyak dari mereka memiliki akun dengan nilai lebih dari $250.000, yaitu jumlah simpanan maksimal yang dijamin oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).

SVB terpaksa mulai menjual US Treasury mereka dengan posisi rugi untuk mengatasi penarikan besar-besaran ini. Kerugian akibat penjualan US Treasury ditambah penarikan dana nasabah secara masif mencapai puncaknya ketika pada tanggal 9 Maret 2023 nasabah menarik dana sebesar $42 miliar dan menyebabkan SVB mengalami defisit kas sebesar $1 miliar pada keesokan harinya.

Baca Juga: Teknologi PGT-A, Kurangi Risiko Bayi Lahir dengan Kelainan Kromosom

Kejatuhan SVB memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya diversifikasi. SVB kolaps karena terlalu bergantung pada satu industri ketika menghimpun dana nasabah serta menyalurkan kredit, yaitu industri start-up, dan satu intrumen investasi ketika menginvestasikan dana simpanan nasabah, yaitu US Treasury. Di sisi lain, nasabah juga perlu menempatkan dana di lebih dari satu bank dan memastikan bahwa jumlah simpanan mereka tidak melebihi batas yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). (Wimpie Yustino Setiawan, SE., M.Comm., MPA, Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X