Kredit Hijau

Photo Author
- Jumat, 11 Oktober 2024 | 10:30 WIB
Prof. DR. Haryo Kuncoro, SE. M.Si.
Prof. DR. Haryo Kuncoro, SE. M.Si.


KRjogja.com - OPERASI bisnis industri perbankan nasional terus mengadopsi prinsip keberlanjutan. OJK mencatat total kredit hijau terus meningkat dari Rp 927 triliun pada 2019 menjadi Rp 1.409 triliun pada 20201. Bahkan pada penghujung 2023, kredit hijau melesat ke posisi Rp 1.959 triliun.

Lonjakan kredit hijau tersebut, di satu sisi, didukung oleh faktor regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, telah merilis Taksonomi Hijau, yakni sistem klasifikasi kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan. Taksonomi Hijau menjadi rujukan perbankan dalam meracik portofolio kreditnya.

Bank Indonesia (BI) juga menawarkan insentif. Cadangan wajib yang disimpan perbankan di rekening BI akan mengecil jika perbankan mampu meningkatkan penyalurkan pembiayaan yang berwawasan lingkungan sesuai kategori Taksonomi Hijau.

Lebih lanjut, BI juga menerbitkan Kalkulator Hijau untuk menghitung emisi karbon yang dihasilkan oleh satu kegiatan ekonomi. Hasil Kalkulator Hijau bisa menjadi dasar perbankan dalam perdagangan di pasar karbon.

Di sisi lain, kiprah pemangku kebijakan lainnya juga berperan signifikan. Fenomena perubahan iklim tampaknya mampu menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Kompromi antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan sudah masif diinisiasi.

Kemiripan cerita berlaku di dunia usaha. Prinsip ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola) menjadi pedoman bagi praktik bisnis. Korporasi berkomitmen untuk tidak hanya mengejar profit, tetapi juga berkontribusi menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.

Sampai di sini, kesepadanan antara harapan dan kenyataan mulai terbentuk. Penjabaran kredit hijau pada energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, bangunan hijau, produk eco-efficient, dan kegiatan usaha berwawasan lingkungan semakin ceoat menciptakan keberlanjutan ekonomi.
Sungguhpun inklusif, geliat kredit hijau tidak lepas dari sejumlah tantangan. Perkara kesesuaian regulasi menjadi isu utama. Penerapan konsep keberlanjutan untuk UMKM (dengan berbagai variasinya) senantiasa menjadi tantangan perbankan dalam mengambil keputusan kreditnya.

Tensi persoalan kian tinggi tatkala dihadapkan pada objek pembiayaannya. Kredit adalah utang dan utang harus dibayar plus bunganya. Artinya, perbankan akan selektif dalam membiayai kegiatan ekonomi demi menghindari kredit macet. Sebaliknya, satu kegiatan ekonomi tertentu boleh jadi tidak memperoleh kredit lantaran tidak produktif.

Sebagai contoh, satu pabrik membangun instalasi pengolah sampah. Dengan perangkat itu, dia minim memproduksi sampah. Dalam kasus ini, perbankan cenderung melihat prospek usaha utama pabrik, alih-alih instalasi pengolah sampahnya.

Mengompensasikan biaya instalasi pengolah sampah ke dalam harga produk membuat proposal kreditnya tidak atraktif lagi di mata perbankan. Apalagi kalau pabrik tersebut konvensional yang tidak tercakup Taksonomi Hijau. Padahal, instalasi pengolah sampah berkontribusi nyata terhadap pemecahan masalah pencemaran.

Relasi output-proses juga sering memicu perdebatan. Satu yang perusahaan bergerak di sektor ekonomi berkelanjutan menerima kredit hijau. Namun proses produksinya (menurut Kalkulator Hijau) menghasilkan karbon berlebih. Jika demikian, apakah bank krediturnya bisa diklaim ikut bertanggung jawab terhadap emisi karbon?

Alhasil, kapasitas SDM perbankan menjadi determinan yang tidak bisa dikesampingkan. Ketersediaan SDM yang cakap memahami, menilai, serta mempersiapkan aksi mitigasi dan adaptasi dalam transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan memegang posisi sentral dalam mengakselerasi kredit hijau.

Sejumlah kasus di atas implisit menyarankan pentingnya keseragaman persepsi guna mereduksi persoalan di seputar kredit hijau. Dengan ‘bahasa’ yang sama, semua pihak yang terlibat akan mufakat sehingga energi dapat tercurah untuk menanggulangi esensi persoalan, alih-alih ‘kembang-kembang’-nya.

Bagaimanapun degradasi lingkungan adalah masalah bersama. Sinkronisasi kebijakan, sinergi ikhtiar, dan koordinasi setiap langkah adalah kunci untuk menanggulangi persoalan bersama tadi. Bumi dan alam bukanlah warisan nenek moyang melainkan titipan anak cucu. Bukan begitu? (Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X