Werther Effect dan Papageno Effect Dalam Pemberitaan Kasus Bun#h Diri

Photo Author
- Selasa, 29 Oktober 2024 | 16:10 WIB
Wahyu Kristian Natalia, S.I.Kom, M.I.Kom
Wahyu Kristian Natalia, S.I.Kom, M.I.Kom


KRjogja.com - SEDERET kasus bun#h diri marak diberitakan di berbagai media di bulan Oktober lalu, kejadian tersebut terjadi mulai di Surabaya, semarang, NTT hingga Jakarta. Hal ini menjadi ironi mengingat setiap tanggal 10 September diperingati sebagai World Suicide Prevention Day. Berbagai faktor melatarbelakangi kasus bun#h diri yang dilakukan oleh rata rata mahasiswa ini. Dilansir dari data WHO, bun#h diri adalah penyebab ketiga kematian bagi orang berusia 15-29 tahun hingga menyebabkan 720 .000 meninggal setiap tahunnya.

Sebagaimana amanat undang undang Pers nomor 40 tahun 1999 media pers mempunyai 4 fungsi utama yakni, sebagai media informasi, media hiburan, media control social dan sebagai sarana Pendidikan. Dalam memberitakan kasus bun#h diri media pers perlu berhati hati karena isu bun#h diri berkaitan dengan Kesehatan mental yang menjadi isu sensitif. Denis McQuail seorang professor sekaligus pakar komunikasi asal Inggris media massa memiliki fungsi sebagai pusat informasi, yang berperan sebagai penyedia dan penyampai informasi mengenai berbagai macam peristiwa, kejadian, realitas, dan banyak hal lain yang terjadi di tengah masyarakat. Berbagai isu yang diberitakan oleh media pers mulai dari isu politik, ekonomi, kebudayaan, kesehatan memberikan dampak kepada masyakarat.

Hasil penelitian yang berdujul Role of media reports in completed and prevented suicide: Werther vs Papageno effects dari Cambrigde University, bagaimana media khususnya media pers membingkai sebuah berita b#nuh diri turut mempengaruhi masyarakat baik secara konstruktif maupun sebaliknya, destruktif. Artinya, apa yang “do” and “do not” media lakukan dalam meliput sebuah kasus b#nuh diri perlu pedoman yang jelas agar dapat menimalisir resiko tindakan bun#h diri dari masyarakat.

Guna meminimalisir dampak negatif dari pemberitaan kasus b#nuh diri, tahun 2019 lalu dewan pers menerbitkan tentang pedoman pemberitaan terkait tindak dan upaya b#nuh diri. Dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 2/PERATURAN-DP/III/2019 tersebut setidaknya ada 20 poin yang mengatur bagaimana media pers memberitakan kasus b#nuh diri(https://dewanpers.or.id/assets/documents/pedoman/1907090256
_PEDOMAN_PEMBERITAAN_TERKAIT_TINDAK_DAN_UPAYA_BUNUH_DIRI_.pdf). Media guidelines  dalam pemberitaaan b#nuh diri ini tidak hanya dari Dewan pers, organisasi kesehatan dunia WHO yang selama ini berfokus pada kesehatan dan keselamatan global juga membuat pedoman serupa untuk menghindari kasus bunuh diri tiruan (copycat suicide). Tujuan dibuatnya pedoman ini agar pers memiliki sensitivitas dalam memberitakan isu isu sensitif khususnya yang berkaitan dengan kasus b#nuh diri. Berita b#nuh diri memiliki berbagai dampak bagi pembaca, dampak tersebut diantaranya “werther effect” dan “Papageno effect”.

Derasnya arus informasi di era media sosial seperti sekarang ini membuat informasi yang beredar nyaris tanpa filter. Informasi mengenai kasus bun#h diri terkadang begitu vulgar tanpa sensor tersebut berseliweran di berbagai platform dapat memicu Werther effect. Dari berbagai studi yang dilakukan, Werther effect adalah pemberitaan tentang bunuh diri justru memicu tindakan imitasi, sehingga memicu angka angka bun#h diri yang naik. Melihat fakta tersebut diharapkan media pers mentaati pedoman dalam memberitakan kasus bun#h bukan hanya sekedar mengejar ratting dengan membuat berita yang sensasional dalam memberitakan kasus b#nuh diri. Berbanding terbalik dengan werther effeck, Papageno adalah berita yang fokus pencegahan b#nuh diri dan memberikan bantuan ahli atau pakar dalam menangani isu Kesehatan mental (Role of Media Reports in Completed and Prevented Suicide: Werther v. Papageno Effects).

Bagaimana narasi media dalam membingkai berita kasus b#nuh diri , agar mampu memberikan harapan dan pemulihan bagi individu yang memiliki isu tentang Kesehatan mental?? salah satu cara yang bisa dilakukan oleh media pers adalah dengan cara membuat berita penuh empati dan rujukan pakar yang kredible, menggunakan judul yang wajar. Selain itu pers tidak hanya fokus pada pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi namun juga menonjolkan edukasi pencegahan b#nuh diri. Akan lebih baik apabila pers juga memberikan informasi kontak bantuan instansi terkait. Tidak hanya itu media juga perlu memberikan “peringatan” dalam pemberitaan kasus b#nuh diri dan menghargai privasi korban maupun kerabatnya. Dalam pedoman dari Dewan pers dan WHO juga sudah sangat jelas bahwa pers tidak boleh menyebutkan detail metode atau cara b#nuh diri baik dalam bentuk narasi, ataupun visual.

Kita berharap lebih banyak narasi dari media pers yang mengedepankan “Papageno” agar meminimalisir kasus bun#h diri tiruan (copycat suicide) atau penularan bun#h diri (suicide contagion). (Wahyu Kristian Natalia, S.I.Kom, M.I.Kom, Dosen Binus University Malang)

 

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X