Dewasa Bernegara Hukum

Photo Author
- Minggu, 17 November 2024 | 08:50 WIB
 Sudjito Atmoredjo.
Sudjito Atmoredjo.

KRjogja.com - BENARKAH bangsa ini telah dewasa dalam bernegara hukum? Bukankah usia negara telah lebih dari 79 tahun? Pun pula telah terjadi pergantian generasi! Anehnya, tak sedikit komponen bangsa berperilaku kekanak-kanakan.

Ada persoalan-persoalan kecil, direspons dengan kekerasan. Pembunuhan. Lapor polisi. Dipidanakan. Persoalan-persoalan demikian - berikut dinamikanya - terjadi pada tingkat hubungan individual, keluarga, kelompok, masyarakat hingga berbangsa. Itulah gambaran perilaku kekanak-kanakan.

Ahmad Syafii Maarif (alm), dalam Resonansi-Republika 04 Agustus 2015, antara lain menyatakan bahwa sebagai bangsa, kita tidak ada alasan terus-menerus cengengesan (seperti perilaku bocah). Sekarang, kita mengalami kemunduran dalam mengurus bangsa dan negara. Di ranah politik, kemunduran itu terbaca pada prilaku politisi yang belum naik kelas ke posisi negarawan.

Padahal, dalam berpolitik, Bung Karno berpesan (1945), pentingnya memegang teguh prinsip ketuhanan yang berkeadaban, atau ketuhanan yang berkebudayaan, berbudi pekerti yang luhur, dan sikap saling menghormati satu dengan yang lainnya. Sepinya negarawan adalah bencana bagi Indonesia.

Hemat saya, bangsa ini dikatakan dewasa dalam bernegara hukum, bila segenap perilakunya berbasis moralitas-religius tinggi. Kedewasaan itu tercermin pada proses, produk, maupun perilaku hukumnya. Perubahan fisik, kognitif, dan sosio-emosional, perlu diimbangi kematangan dalam memahami filosofi negara, norma-norma hukum, berikut pengamalannya, dalam segala aspek kehidupan. Dari kriteria kedewasan demikian, negara hukum akan mampu mewujudkan keadilan individu maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam falsafah negara (Pancasila) ada nilai-nilai religius. Satu di antaranya tentang sangkan paraning dumadi. Segenap manusia diperkenalkan asal-usul kejadian (penciptaan) oleh Allah Swt, berikut perjalanan kehidupannya, hingga kembali lagi ke haribaan Ilahi Rabbi. Kesadaran bertanggungjawab atas segala amal-perbuatannya, mengharuskan perjalanan hidup di alam dunia, senantiasa berada di shirathal mustaqim (jalan lurus).

Dalam konteks bernegara hukum, makna shirathal mustaqim adalah keseluruhan hukum yang berlaku, dan daripadanya, semua warga-negara maupun penyelenggara-negara, berbuat demi kejayaaan negaranya. Hukum hanya dikategorikan benar, bila dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan, atas dasar nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Itulah shirathal mustaqim bangsa Indonesia.

Sang Pencipta telah memberikan petunjuk dan perintah, ikutilah jalan-Ku. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain. Mengapa? Karena pada jalan-jalan lain itu, rentan terjadi pembelokan-pembelokan. Ada jalan menyimpang. Rambu-rambu lalu-lintas, tidak jelas arah, perintah, dan larangannya. Bila jalan-jalan lain (hukum buatan manusia) yang dipilih dan dilalui, maka ketercerai-beraian pasti terjadi. Sebaliknya, bila jalan (hukum) Allah Swt yang diikuti, maka berbagai kenikmatan (dunia-akhirat) pasti dapat diraih (QS.al-Fatihah 6-7, jo.al-An’am, 153).

Manusia terpilih, manusia teladan kehidupan sepanjang masa (Muhammad Saw) suatu ketika membuat satu garis lurus. Kemudian bersabda, “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian, dibuatnya pula garis-garis yang banyak. Di samping kiri dan kanan garis yang lurus tersebut. Setelah itu, beliau bersabda, “Ini adalah jalan-jalan menyimpang. Syetan-syetan menyeru (berbisik, menghasut) agar manusia melewati jalan menyimpang itu“ (H.R Ahmad 4142).

Di negeri ini, ternyata hukum sebagai jalan lurus, mengalami nasib buruk. Keberlakuannya, terus tergeser, tergusur, dan tergantikan dengan hukum sebagai jalan menyimpang. Lembaga negara dan lembaga pemerintahan, berkontribusi pada maraknya jalan menyimpang. Orang-orang dalam-lembaga itu, belum dewasa. Mereka bukan negarawan, melainkan sekadar politisi. Imbasnya, ketika hukum itu dijalankan, maka hasilnya, bukanlah kenikmatan hidup, keadilan, kesejahateraan, melainkan kedzaliman. Inilah realitas sehari-hari yang kita rasakan.

Di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, kedewasaan bernegera hukum wajib diwujudkan. Untuk itu maka:
(1) Para politisi maupun rakyat seluruhnya, wajib mengendalikan diri dari dorongan nafsu (nafsu politik, nafsu ekonomi, nafsu sosial, dan nafsu duniawi lainnya), serta-merta kembali ke jalan lurus;
(2) Di jalan lurus, kedewasaan berperilaku mesti dimaksimalkan. Matangkan pemahaman terhadap Pancasila, benahi substansi UUD 1945, berikut koreksi atas regulasi yang ditengarai menyimpang dari moralitas-religius;
(3) Aktualisasikan segala potensi diri, jaga persatuan, dan gelorakan musyawarah-mufakat bila ada perbedaan. Wallahu’alam.(Sudjito Atmoredjo, Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X