KRjogja.com - MITOS berganti menteri bersalin kurikulum selalu mengiringi perjalanan politik pendidikan di Indonesia. Karena itulah warga masyarakat dan warga net menengarainya sebagai representasi penyakit pendidikan.
Secara kasatmata, penyakit pendidikan dapat dilihat dari sekumpulan problem kebijakan serta administrasi pendidikan. Semuanya diinisiasi menteri, pejabat publik dan birokrat yang berambisi dinobatkan sebagai arsitek pendidikan. Mereka ingin menggali fondasi guna mendirikan menara pendidikan. Sayangnya kehendak itu jauh panggang dari api.
Ujungnya, sistem pendidikan di Indonesia diarahkan menjadi pabrik gelar di kawasan industri pendidikan. Mahasiswa digiring menjadi budak korporat. Sedangkan profesi dosen bukan diposisikan sebagai pekerja intelektual. Justru kasta sosialnya diturunkan menjadi buruh SKS sekaligus petugas administrasi pendidikan.
Hal itu terlihat dalam rangkaian beban kerja dosen yang harus dikerjakan dosen. Perwujudannya berupa pelaporan pertanggungjawaban kerja berkaitan dengan Tridharma Perguruan Tinggi setiap semester. Masih ditambah mengisi lembar Indikator Kinerja Utama. Menulis Rencana Pembelajaran Semester.
Buruh SKS juga diwajibkan berpartisipasi aktif mengawal program Merdeka Belajar Kampus Merdeka serta Program Kreativitas Mahasiswa . Mengisi borang untuk kelengkapan akreditasi. Menulis buku ajar dan publikasi artikel ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal Sinta dan Scopus. Belum lagi harus membimbing dan menguji tugas akhir.
Apakah penyakit pendidikan dapat disembuhkan? Jelas bisa dipulihkan! Syaratnya? Peran dosen dikembalikan menjadi pekerja intelektual. Tentu selaras dengan jabatan fungsional atau jabatan akademik yang diembannya. Apakah itu? Dosen sebagai pekerja intelektual menjalankan tugas Tridharma Perguruan Tinggi. Mereka menjalankan tugas negara sebagai pendidik, pengajar dan peneliti. Mereka juga mendedikasikan dirinya dalam program pengabdian pada masyarakat.
Kemendiktisaintek harus mengedepankan niat baik untuk menyembuhkan penyakit pendidikan. Bagaimana perwujudannya? Mengembalikan harkat dan martabat dosen menjadi pekerja intelektual. Tafsirnya, kementerian wajib memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada dosen sebagai pekerja intelektual.
Kemendiktisaintek wajib mereposisi tugas dan peran dosen bukan sebagai buruh SKS. Mereka dipekerjakan dalam pabrik gelar di kawasan sentra industri pendidikan. Kemendiktisaintek harus mengakui dosen sebagai pekerja intelektual yang profesional. Seperti digariskan di dalam Tridharma Perguruan Tinggi.
Ironisnya, sekarang ini dosen buruh SKS dipaksa menjalankan tugas Catur Dharma Perguruan Tinggi. Seperti apa tugas keempat itu? Mereka harus bekerja layaknya petugas administrasi pendidikan di lingkungan perguruan tinggi tempatnya mengajar.
Sebagai pekerja intelektual, seorang dosen tidak sepantasnya diposisikan sebagai budak korporat di bawah kendali Departemen Tenaga Kerja. Dampak sosialnya, upah sebagai buruh SKS ditentukan setara dengan UMR sebuah kota besar.
Ketika sistem pendidikan di Indonesia diarahkan menjadi pabrik gelar akademik di kawasan industri pendidikan. Muaranya, mahasiswa digiring menjadi budak korporat. Agar modus operandi industri pendidikan berjalan mulus, diciptakanlah kurikulum yang mempersiapkan mahasiswa menjadi bagian dari sekrup pabrik gelar akademik. Kurikulum ditetapkan guna memenuhi egoisme pihak industri produk barang dan jasa yang meminta lulusan perguruan tinggi harus siap kerja.
Dampak pedagogisnya keberadaan kurikulum diformat melompati aspek pendidikan itu sendiri. Kurikulum ditakar dalam sudut pandang ukuran kuantitatif. Keberadaannya mengabaikan segala sesuatu yang bersifat kualitatif. Kurikulum arahan industri pendidikan mengabaikan upaya melatih diri untuk senantiasa berpikir merdeka secara bertanggung jawab dan kritis.
Mereka - lewat ideologi budak korporat - merampas upaya mahasiswa untuk mengembangkan diri lewat pendekatan critical thinking. Bahkan keinginan menjalankan proses belajar secara menyeluruh dan komprehensif dengan strategi mengedepankan kreativitas tanpa batas, juga dibatasi secara sepihak. Pendeknya, kurikulum industri pendidikan sengaja disodorkan kepada mahasiswa dan dosen untuk ditelan layaknya menu kuliner bergizi sekaligus menyehatkan.
Apa luaran yang diharapkan dari kurikulum industri pendidikan? Lulusannya dikondisikan menjadi budak korporat yang patuh dan setia pada beban kerja yang diembannya. Mereka diarahkan menjadi pekerja yang sangat terampil. Profilnya mirip robot yang diberi pakaian bernama akal imitasi (AI). (Dr Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSRD ISI Yogyakarta)