KRjogja.com - BADAN LEGISLASI (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) menggelar rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Dalam pembahasan ini, ada sejumlah tambahan pasal yang salah satunya mengatur tentang Perguruan Tinggi dapat mengelola tambang.
Kalau RUU Minerba itu disyahkan, tidak hanya Ormas Keagamaan saja, tetapi juga Perguruan Tinggi mendapat konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk mengelola pertambangan dan mineral. Serupa dengan Ormas Keagamaan, pengelolaan tambang oleh Perguruan Tinggi akan lebih banyak madharatnya ketimbang manfaatnya atau dalam cost and benefit analysis lebih besar cost daripada benefit sehingga tidak layak.
Baca Juga: Peringatan Isra' Mi'raj, Menag: Mari Tegakkan Salat
Ada beberapa alasan Perguruan Tinggi tidak layak mengelola tambang. Pertama, berdasarkan UU Pendidikan, Perguruan Tinggi menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, terdiri: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian, tidak termasuk Penambangan. Perguruan Tinggi yang mengelola tambang berpotensi menabrak UU Pendidikan tersebut. Kedua, pengelolaan tambang di mana pun prosesnya pasti menyebabkan pengrusakan terhadap lingkungan. Dengan mengelola tambang, Perguruan Tinggi termasuk ikut berkontribusi terhadap pengrusakan lingkungan, padahal selama ini Perguruan Tinggi mempelopori upaya melestarikan lingkungan. Ketiga, pertambangan di Indonesia berada pada wilayah abu-abu yang sering kali melakukan kejahatan pertambangan hitam dan menimbulkan konflik antara penambang dengan masyarakat setempat. Perguruan tinggi yang selama ini mengayomi masyarakat bisa terseret ke dalam dunia kejahatan pertambangan hitam dan konflik dengan masyarakat.
Selain itu, Perguruan Tinggi tidak memiliki pengalaman, kapasitas dan kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Dalam kondisi tersebut, Perguruan Tinggi akan mengajak kontraktor dalam mengelola tambang dengan sistim bagi hasil. Berhubung, kontraktor yang memiliki tenaga kerja, dana dan peralatan, maka bagi hasil bagian kontraktor jauh lebih besar ketimbang Perguruan Tinggi.
Baca Juga: Hak Atas Tanah
Dalam kondisi tersebut, Perguruan Tinggi hanya akan berperan sebagai broker alias makelar dengan menyerahkan WIUPK kepada kontraktor. Namun, dengan bagi hasil yang lebih kecil, Pergurun Tinggi harus menanggung resiko akibat pengrusakan lingkungan dan konflik dengan masyarakat. Sungguh amat ironis.
Diduga tujuan pemberian konsesi WIUPK tambang tersebut lebih untuk menundukkan Perguruan Tinggi agar tidak dapat lagi menjalankan fungsi kontrol terhadap Pemerintah secara kritis, yang selama ini dijalankan. Tidak akan ada lagi guru besar, dosen dan mahasiswa yang melakukan aksi demontrasi untuk memprotes kebijakan pemerintah yang menyimpang. Kalau benar dugaan tersebut, tidak berlebihan dikatakan bahwa telah terjadi prahara di Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi kontrol terhadap penguasa dan penegakan demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: WNI Tewas Ditembak di Perairan Malaysia
Oleh karena itu, DPR harus mencabut draft RUU itu. Kalau akhirnya, RUU itu disyahkan, seluruh Perguruan Tinggi yang mengedepankan nurani harus menolak pemberian konsesi WIUPK tambang agar tidak terjadi prahara di Perguruan Tinggi. (Fahmy Radhi, Dosen DEB Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada dan Pengurus ISEI DIY)