KRjogja.com - INTEGRASI data adalah proses untuk menggabungkan data dari berbagai sumber yang berbeda untuk menyediakan informasi yang lengkap, sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan dengan tepat. Sumber dapat berupa format atau bentuk data yang berbeda-beda, yang disimpan di perangkat dan lokasi yang berbeda-beda, ataupun dari pengelola yang berbeda-beda pula. Setelah data tersebut disatukan, bisa didapat informasi yang lengkap, sehingga bagi para pembacanya, dapat dipakai untuk membuat keputusan dengan cepat dan tepat.
Secara teknis, proses integrasi data ini meskipun ada kesulitan, namun mudah diatasi, apalagi di era komputasi sekarang ini, yang antara satu sistem dengan sistem yang lain sudah bisa saling berbicara, tidak seperti sebelum tahun 1990an yang lalu, ketika komputer Apple dan DOS (belum ada Windows), tidak dapat saling bertukar data. Materi integrasi data sudah dibahas di prodi SI/TI jenjang S1, sehingga bukan sesuatu yang muluk-muluk.
Namun hingga saat ini, integrasi data masih saja belum terlihat wujudnya di Indonesia ini. Secara nonteknis, integrasi data dirindukan sekaligus dibenci. Bagaimana tidak? Sejak tahun 2018 sudah ada Perpres 95/2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Di dalam Perpres tersebut dan berbagai regulasi turunannya, sudah diamanatkan agar semua instansi mengeintegrasikan datanya. Setiap tahun, Kementerian, Lembaga Negara, dan Pemerintah Daerah (disingkat K/L/D) dinilai tingkat SPBE-nya dan beberapa komponen penilaiannya menyangkut integrasi data dan kaitannya (jaringan, rencana induk, dsb).
Baca Juga: Di Malaysia, Prabowo Subianto Bakal Bertemu Yang Di-Pertuan Agong Sultan Ibrahim
Mengapa sulit?
Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya integrasi data adalah tradisi ego sektoral. Masing-masing K/L/D merasa bahwa data itu miliknya, maka instansi lain tidak boleh menggunakannya. Data kependudukan adalah menjadi wewenang mutlak Dukcapil (Kemendagri). Kalau instansi lain butuh data kependudukan, silakan cari sendiri. Maka jangan heran ketika ada orang mau menikah, harus ke KUA (kalau beragama Islam), lalu harus mengisi formulir macam-macam. Padahal mestinya melalui sebuah aplikasi pendaftaran pernikahan, calon mempelai tinggal memasukkan NIK-nya masing-masing, maka semua informasi yang diperlukan, akan langsung tampil.
Contoh lain adalah laporan pajak, khususnya bagi wajib pajak yang menerima honor dari berbagai sumber. Katakanlah seorang dosen mengajar di beberapa perguruan tinggi, honornya sudah dipotong pajak dan dilaporkan oleh kampus pemberi kerjanya. Berarti Kantor Pajak sudah tahu penghasilan dosen tadi. Tetapi dosen tadi harus melaporkan semua penghasilannya ke Kantor Pajak. Kalau sistem sudah terintegrasi, justru Kantor Pajaklah yang memberi tahu si wajib pajak, penghasilan Anda sekian, dari mana saja. Kalau setuju, tinggal klik tombol setuju.
Hal lain misalnya adalah LHKPN. Memang itu pekerjaan yang sangat menyita waktu. Tidak hanya rumah, tanah dan kendaraan yang dilaporkan, tetapi juga sepeda, ponsel, kulkas, dsb. Kalau mau lengkap, mengisi LHKPN harus melihat isi masing-masing ruang dan kamar di rumah. Kalau data sudah terintegrasi, maka kelak masing-masing penduduk hanya perlu satu nomor identitas saja. Sejak lahir sudah dapat NIK. Ketika masuk sekolah hingga kuliah dan bekerja, nomor identitasnya ya NIK itu saja.
Baca Juga: Gus Baha: Tauhid Bisa Rusak Akibat Pemahaman Isra' Mi'raj yang Salah, Bahaya!
Bagaimana seharusnya?
Di negeri ini, untuk mengintegrasikan data berarti menyatukan wewenang. Untuk itu diperlukan kekuatan yang besar. Mengharapkan antarmenteri berkoordinasi tentu sulit. Oleh karenanya harus di bawah koordinasi Presiden atau Wapres, bagi tugas lah. Jangan seperti kabinet yang lalu, karena kementerian tidak bisa mengintegrasikan data, lalu Peruri yang diminta membuat superapp. Ya tentu sulit terwujud lah. (Dr. Wing Wahyu Winarno, MAFIS adalah Dosen STIE YKPN Yogyakarta, anggota Tim Jogja Smart Province, serta anggota Dewan Smart City Kab. Bantul dan Kab Kulon Progo)