K
KOMISI Pemberantasan Korupsi didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, karena melihat saat itu, aparat penegak hukum yang ada dinilai tidak efektif dan optimal untuk memberantas korupsi. Tingginya tingkat korupsi yang dianggap sudah melampaui batas, dilawan dengan mendirikan lembaga baru yang diharapkan juga akan memberantas korupsi secara luar biasa. Extra ordinary crime membutuhkan extraordinary action dengan extraordinary institution.
Institusi ini juga sudah beberapa kali membuktikan telah melakukan banyak hal dalam upaya pemberantasan korupsi. Kasus cicak vs buaya tentu masih membekas dalam ingatan masyarakat. Profesionalitas para penyidik KPK juga terlihat dalam kasus cicak vs buaya untuk tidak takut melawan tekanan dari luar.
Sayangnya, dalam perkembangannya, seperti masyarakat bilang, semakin ke sini kok malah semakin ke sana. Institusi yang tadinya digadang-gadang jadi lembaga yang sangat bisa dipercaya terlihat semakin tidak profesional. Kasus pungutan liar (pungli) yang dilakukan petugas rutan KPK terhadap para tahanan yang hanya diselesaikan dengan permintaan maaf massal dan terungkapnya pertemuan komisioner KPK dengan tersangka koruptor adalah contoh-contoh KPK sendiri semakin “ke sana”.
Kasus lain yang menarik juga untuk dicermati adalah kasus Harun Masiku. Kasus ini telah menghasilkan beberapa putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht), namun karena Harun Masikunya sendiri belum tertangkap maka kasus ini belum pernah dianggap selesai. Setelah beberapa orang yang diputuskan bersalah sudah menyelesaikan hukumannya, kasus ini tampaknya menjadi “mainan” bagi KPK untuk kepentingan-kepentingan lain. Beberapa kali, penyidik KPK menyampaikan kepada publik bahwa keberadaan Harun Masiku telah diketahui dan terus dipantau pergerakannya. Tentu saja ini aneh, karena sebagai institusi yang dipercaya secara luar biasa untuk memberantas korupsi, seharusnya pernyataan itu tidak perlu tetapi segera saja menangkap yang bersangkutan.
Ternyata, upaya untuk “memelihara kasus” ini dilakukan karena kemungkinan ada agenda lain di luar penegakan hukum itu sendiri. Hal itu terlihat belakangan ini ketika kasus itu diangkat kembali dengan membidik orang lain. Pemanggilan tokoh-tokoh politik dari partai yang saat ini berseberangan dilakukan kembali. Namun, dari berbagai keterangan yang disampaikan oleh orang-orang yang dipanggil, semuanya menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan petugas KPK sama persis dengan pertanyaan yang sudah diajukan kepada orang-orang dipanggil beberapa tahun silam, sehingga jawabannya juga sama persis.
Menilik dari fakta pernyataan KPK tentang keberadaan Harun Masiku yang sudah diketahui tetapi tidak segera ditangkap dan upaya terus menerus pemanggilan saksi-saksi yang sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama semakin menegaskan bahwa kasus ini sudah bergeser tidak semata-mata dalam ranah hukum tetapi sudah menjadi upaya melayani kepentingan politik tertentu dengan memanfaatkan celah hukum. Belum lagi jika mendengar kesaksian Agustina Tio tentang “tawaran” yang dilakukan petugas KPK. Jika itu yang benar terjadi, maka profesionalitas KPK dalam menjalankan kewenangan luar biasa yang dipercayakan kepadanya telah semakin disusupi kepentingan lain. Maka hentikanlah permainan hukum ini, jalankan kembali profesionalitas petugas KPK sebaik-baiknya. Tangkap segera jika memang petugas KPK sudah mengetahui keberadaannya. Hentikan proses penyidikan yang tidak perlu terhadap orang-orang yang selama ini dikesankan terlibat tetapi baru-baru ini diperiksa dan diperiksa lagi. Hukum harus melayani keadilan yang dibebaskan dari kepentingan pribadi dan perseteruan politik yang ada.****
Benedictus Danang Setianto SH, LLM, MIL, Ph.D
Dosen Ilmu Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Pendiri "Jateng Corruption Watch".