KRjogja.com - AGAK mengejutkan, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka atas dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023, yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun per tahun. Tidak tanggung-tanggung, ketujuh tersangka itu terdiri sejumlah Direktur Utama (Dirut), Vice President (VP) anak perusahaan Pertamina dan perusahaan swasta.
Tersangka itu di antaranya: Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, sejumlah Dirut dan Komisaris Perusahaan Swasta. Salah satunya, konon putra dari tokoh yang dulu ditenggarai sebagai pentolan mafia migas.
Modus yang digunakan dalam merampok uang negara kali ini serupa dengan modus mafia migas sebelumnya, yakni mark up impor minyak mentah dan BBM, serta blending BBM dari Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92). Dalam praktiknya, minyak mentah produksi dalam negeri ditolak diolah di kilang Pertamina dengan alasan spesifikasinya tidak sesuai dengan kualifikasi Kilang Pertamina, sehingga harus impor minyak mentah untuk diolah di kilang dalam negeri.
Baca Juga: Korupsi Makin Menggurita, Pengesahan RUU Perampasan Aset Harga Mati
Dengan alasan kapasitas kilang tidak memenuhi, maka BBM masih harus impor dalam jumlah besar. Harga impor minyak mentah dan BBM itu telah dimarkup sehingga merugikan keuangan negara yang harus membayar impor tersebut lebih mahal. Mark-up juga dilakukan pada kontrak pengiriman (shipping), dengan tambahan biaya ilegal sebesar 13% hingga 15%.
Tindak pidana korupsi itu tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga merugikan masyarakat sebagai konsumen BBM, yang membayar harga Pertamax namun yang diperoleh Pertalite yang harganya lebih murah. Kasus mega korupsi Pertamina yang merugikan negara dan masyarakat tampaknya mulai dialihkan pada perdebatan modus blending dengan mengaburkan modus perampokan negara melalui markup impor minyak mentah, impor BBM dan pengapalan impor minyak mentah dan BBM.
Perdebatan antara Kejaksaan Agung dan Pertamina terkait kebenaran blending justru berpotensi mendorong migrasi konsumen Pertamax dari SPBU Pertamina ke SPBU Asing dan migrasi dari penggunaan Pertamax BBM non-subsidi ke Pertalite BBM subsidi. Kalau migrasi konsumen ini meluas, tidak hanya merugikan Pertamina, tetapi juga akan membengkakan beban APBN untuk subsidi BBM. Pertamina harus segera menghentikan penyangkalan terhadap temuan Kejaksaan Agung terkait blending BBM yang justru kontra-produktif.
Baca Juga: 11 Hari Libur Panjang di Lebaran Nanti
Agar perampokan tidak terulang lagi, Pertamina harus mengubah tata kelola yang buruk dan melakukan operasi pembersihan besar-besaran terhadap oknum mafia migas yang masih bercokol di lingkungan Pertamina. Selain itu, Presiden Prabowo harus menjadi Panglima dalam Pemberantasan Mafia Migas, yang merupakan persekongkolan sejumlah pihak, di antaranya: oknum dalam Pertamina, oknum Pemerintah, oknum DPR, Perusahaan Swasta dan backing yang konon kekuasaannya mencapai hingga langit tujuh. Tanpa peran aktif Presiden Prabwo untuk menyikat backingnya, jangan harap Mafia Migas yang amat berkuasa dapat diberantas dan mustahil perampokan uang negara tidak terulang kembali. (Fahmy Radhi, DEB Sekolah Vokasi UGM dan Pengurus ISEI DIY)