KRjogja.com - DALAM siaran pers pada akhir tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan tiga peraturan sekaligus untuk bank perkreditan rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) yang bertujuan untuk memperkuat industri perbankan di Indonesia. Ketiga peraturan tersebut adalah POJK No. 23 Tahun 2024 Pelaporan melalui Sistem Pelaporan OJK dan Transparansi Kondisi Keuangan bagi Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah, POJK Nomor 24 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat Syariah, dan POJK Nomor 25 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola Syariah Bagi Bank Perekonomian Rakyat Syariah.
Peraturan tersebut diterbitkan karena tingginya angka kebangkrutan bank, khususnya BPR. Sepanjang tahun 2024 lalu, tercatat 20 BPR yang mengalami kebangkrutan. Jumlah ini jauh melebihi rata-rata jumlah bank yang kolaps per tahun, yaitu 6 – 7 BPR. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebangkrutan bank dapat diprediksi sebelumnya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting untuk mendeteksi lebih dini kebangkrutan bank sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah hal tersebut sebelum terjadi.
Baca Juga: Rawan Banjir, Pemkab Sukoharjo Minta Masyarakat Bersihkan Aliran Sungai
Banyak metode telah dikemukakan untuk memprediksi kebangkrutan bank, dan penggunaan rasio kecukupan modal adalah salah satunya. Rasio kecukupan modal selama ini dianggap menjadi salah satu cara untuk menilai keamanan dan kekuatan perusahaan perbankan. Basel Accord, misalnya, telah menerapkan persyaratan modal minimum terhadap bank-bank secara internasional sejak tahun 1988. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal memiliki hubungan negatif dengan risiko kebangkrutan bank. Artinya, semakin tinggi rasio kecukupan modal suatu bank, semakin kecil kemungkinan bank tersebut untuk kolaps.
Dalam sebuah penelitian, Estrella, Park dan Presitiani (2000) menemukan bahwa tiga macam rasio modal memberikan informasi yang kuat mengenai kemungkinan kejatuhan bank di masa depan. Tiga rasio modal tersebut adalah rasio modal tier-1 terhadap aset tertimbang menurut risiko (risk-weighted ratio), leverage, dan rasio pendapatan kotor (gross revenue ratio). Studi tersebut menunjukkan bahwa risk-weighted ratio, yang merupakan rasio paling kompleks di antara ketiga rasio tersebut, merupakan prediktor kebangkrutan bank paling kuat dalam jangka panjang.
Secara lebih spesifik, hasil studi tersebut menemukan bahwa bank-bank yang memiliki risk-weighted ratio antara 6 – 7 persen memiliki tingkat kebangkrutan sebesar 5,2 persen. Tingkat kebangkrutan bank ini menjadi semakin tinggi ketika rasio risk-weighted bank menyusut. Bank-bank dengan risk-weighted ratio 2 – 3 persen memiliki tingkat kebangkrutan yang tinggi, yaitu 45,1 persen. Tingkat kebangkrutan ini meningkat menjadi 56,2 persen ketika bank memiliki rasio terimbang sebesar 1 – 2 persen, dan menjadi 63,9 persen saat rasio turun ke level 0 – 1 persen.
Baca Juga: Longsor Tutup Akses Jalan di Gunung Prahu
Namun, yang cukup mengejutkan dari hasil penelitian tersebut adalah rasio yang lebih sederhana ternyata juga memiliki peranan yang cukup penting dalam jangka pendek, yaitu satu hingga dua tahun. Sebagai contoh, rasio leverage sederhana, yaitu modal tier-1 dibagi dengan total aset berwujud, menunjukkan bahwa bank-bank dengan leverage 5 – 6 persen memiliki tingkat kejatuhan yang cukup rendah, yaitu 1,4 persen.
Sebaliknya, tingkat kebangkrutan menjadi sangat tinggi, yaitu 48,6 persen, dalam kelompok bank dengan leverage 1 – 2 persen, dan 61,7 persen untuk kelompok bank yang memiliki rasio leverage 0 – 1 persen. Meskipun tidak seakurat risk-weighted ratio dalam jangka panjang, rasio leverage sederhana ini relatif lebih efisien untuk diterapkan dan dapat dijadikan sebagai pelengkap untuk rasio-rasio lain yang lebih rumit untuk memberikan sinyal kepada otoritas kapan harus memulai langkah monitoring.
Hasil studi tersebut tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai patokan untuk merumuskan kebijakan mengenai tingkat kecukupan modal yang optimal bagi bank. Namun demikian, temuan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu indikator awal untuk mencegah kejatuhan bank. Pemerintah dan otoritas pengawas dapat mengambil langkah-langkah pencegahan yang cepat apabila suatu bank telah menunjukkan tingkat rasio kecukupan modal yang mengkhawatirkan. Dengan demikian risiko kejatuhan bank di masa depan dapat dimitigasi. (Wimpie Yustino Setiawan, S.E., M.Comm., MPA, Dosen Departemen Akuntansi Universitas Atma Jaya Yogyakarta)