Narsisme dan Pendidikan Tinggi: Bagaimana Kampus Mengajarkan Keseimbangan Antara Ambisi dan Kepedulian Sosial?

Photo Author
- Selasa, 25 Maret 2025 | 19:30 WIB
Sang Ayu Putu Piastini Gunaasih, SE., M.Acc., Ak., Dosen prodi Akuntansi, FEB UAJY.
Sang Ayu Putu Piastini Gunaasih, SE., M.Acc., Ak., Dosen prodi Akuntansi, FEB UAJY.


KRjogja.com - TERCIPTANYA Indonesia emas 2045 salah satunya ditentukan oleh tersedianya pendidikan berkualitas dan dukungan institusi pendidikan yang baik. Tujuan itu sejalan dengan sasaran PBB melalui Sustainable Development Goals (SDGs) poin 4 dan 16. Institusi pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab dalam membentuk mahasiswa yang tidak hanya unggul dalam akademik tetapi memiliki kesadaran sosial tinggi. Pendidikan tinggi harus dapat menciptakan iklim kondusif dan seimbang antara kebutuhan individual dan tanggung jawab sosial, sehingga mahasiswa dapat menjadi pemimpin beretika dan berkelanjutan di masa depan (UNESCO, 2020). Namun tujuan tersebut tidak luput dari berbagai kendala, salah satunya perilaku narsisme.

Narsisme, menjadi fenomena yang semakin dominan pada generasi muda, termasuk mahasiswa di perguruan tinggi. Media sosial, budaya kompetitif, dan dorongan mencapai kesuksesan individu berkontribusi pada peningkatan sifat narsistik di lingkungan akademik (Twenge & Campbell, 2009). Penelitian Foster et al. (2011) menunjukkan bahwa individu narsistik cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai prestasi tertentu tanpa peduli pada lingkungan sosial beserta dampaknya. Hal ini mencerminkan pergeseran nilai dalam dunia pendidikan tinggi. Mahasiswa lebih berorientasi pada pengakuan sosial (pujian) dan pencapaian pribadi dibandingkan berkontribusi nyata bagi masyarakat (Dworkis, Olsen, & Young, 2014). Rosenthal & Pittinsky (2006), menyebutkan ciri narsistik yaitu arogan dan sangat sensitif terhadap kritik, mudah marah dan cenderung tidak rasional dalam pengambilan keputusan, memiliki kebutuhan yang tidak terpuaskan akan pengakuan dan superioritas. Di sisi lain, sistem kontrol tradisional (aturan dan pengawasan ketat) dalam institusi pendidikan tinggi sering kali tidak cukup efektif mengelola karakteristik narsistik ini (Merchant & Manzoni, 1989).

Cerminan perilaku narsistik subklinis bisa terlihat seperti merasa istimewa, konsep diri berlebihan (grandiose self concept), mengeskploitasi orang lain, dan kurangnnya empati. Jika status seorang mahasiswa digunakan untuk pencitraan di media sosial ‘flexing’, melalui viral dengan konten edukasi dangkal (missal menonjolkan sexualitas) dirasa lebih diakui dibandingkan dengan menyajikan konten-konten kontribusi dalam riset, atau sosial. Keterlibatan aktif pada organisasi-organisasi cenderung dilakukan untuk meningkatkan citra diri, termasuk perilaku narsistik. Mahasiswa bergabung dalam gerakan sosial atau organisasi untuk memenuhi portofolio (sebagai syarat kelulusan) tanpa kontribusi nyata. Bahkan saat bekerjasama, beberapa mahasiswa narsistik sering mengambil lebih banyak proyek tanpa memberikan berkontribusi. Karakteristik ini dapat menciptakan lingkungan kerja toxic dikemudian hari karena lebih berfokus pada pengakuan individu dibandingkan dengan kolaborasi berkelanjutan. Fenomena-fenomena di atas bertentangan dengan SDGs 4 (Pendidikan Berkualitas), karena sistem pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak individu berprestasi tetapi juga individu berintegritas dan berkepedulian sosial.

Untuk menciptakan lingkungan akademik yang seimbang antara ambisi pribadi dan kepedulian sosial, kampus dapat menerapkan beberapa strategi. Pertama, menekankan nilai-nilai kolektif dan budaya akademik berbasis kerja sama dibandingkan dengan hanya menilai individu berdasarkan prestasi akademik. Kedua, menerapkan sistem reward yang lebih berorientasi pada kontribusi sosial dan kerja tim, bukan hanya pencapaian individu apalagi punishment. Ketiga, menambahkan mata kuliah wajib tentang kepemimpinan etis, keberlanjutan, dan tanggung jawab sosial. Selain itu, menjadikan kesadaran sosial tidak hanya mengejar nilai tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan dan masyarakat. Keempat, mengedukasi mahasiswa tentang dampak negatif budaya pencitraan berlebihan di media sosial terhadap pendidikan dan nilai akademik yang sebenarnya. Langkah-langkah ini selaras dengan SDGs 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat, yang menekankan pentingnya integritas, kerja sama, dan etika dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan).

Narsisme dalam pendidikan tinggi dapat menjadi penghambat tujuan Indonesia emas 2045 jika tidak dikelola dengan baik. Pendidikan tinggi bukan hanya menjadi tempat untuk mengejar prestasi akademik, tetapi ruang dalam membentuk karakter dan integritas berkelanjutan. Sistem pendidikan berorientasi nilai sosial dan kolaborasi, tidak hanya mencetak individu sukses, tetapi juga agen perubahan bagi masyarakat dan dunia. (Sang Ayu Putu Piastini Gunaasih, SE., M.Acc., Ak., Dosen prodi Akuntansi, FEB UAJY)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X