Jalan Paradoks

Photo Author
- Sabtu, 19 April 2025 | 19:18 WIB
Dr. Pramudianto.
Dr. Pramudianto.

KRjogja.com - SETIAP orang selalu ingin menjalani kehidupan dengan proses yang wajar namun demikian kelahiran, kematian dan kebangkitan Yesus merupakan jalan yang tidak biasa orang jalani. Jalan yang menentang arus utama sering disebut paradoks. Paradoxon yang berasal dari dua akar kata bahasa Yunani “para” (di samping atau bertentangan dengan) dan “doxa” (pendapat, keyakinan, opini) artinya bertentangan dengan opini umum atau melawan ekspektasi biasa. Dalam bahasa Latin, “paradoxum”, maknanya “Hal yang tampaknya bertentangan dengan akal sehat, tetapi sebenarnya benar.”

Pada umumnya seorang raja lahir di istana, Yesus adalah raja segala raja, tetapi Ia lahir di kandang hewan. Ia datang bukan dengan kemegahan duniawi, tetapi dalam kesederhanaan dan kerendahan hati “kemuliaan dalam kesederhanaan”. Yesus mengajarkan bahwa untuk menjadi besar, seseorang harus melayani. Dalam pandangan dunia, orang besar dilayani; tetapi dalam Kerajaan Allah, orang besar adalah yang paling rendah hati. “Yang terakhir akan menjadi yang pertama”

Yesus berkata barangsiapa kehilangan nyawanya karena Dia, akan mendapatkannya. Jalan pengorbanan justru menjadi jalan untuk menemukan hidup sejati. “Melepaskan untuk mendapatkan” Yesus mengajarkan untuk mengasihi musuh dan mendoakan orang yang menganiaya. Ini sangat bertolak belakang dengan naluri manusia. “Mengalahkan kebencian bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kasih.”

Minggu ini umat Kristen menghayati kematianNya di kayu salib dan kebangkitanNya, peristiwa Yesus memenangkan umat manusia bukan dengan pedang, tetapi dengan salib—alat kematian yang hina. Dalam dunia, kematian sering dianggap sebagai kekalahan. Tetapi Yesus justru mengalahkan dosa dan maut melalui kematian-Nya. “Kematian yang memberi hidup, kekalahan yang menjadi kemenangan.” Jalan Yesus memang jalan paradoks—yang tidak selalu masuk akal bagi logika dunia, tetapi justru membuka rahasia terdalam dari Kerajaan Allah. Ia mengundang kita berjalan di jalan itu: jalan kerendahan, kasih, pengorbanan, dan pengampunan. Jalan yang tampaknya “kalah,” namun sejatinya penuh kuasa dan kemenangan.

Jika kita tilik politik di Indonesia seringkali diwarnai dengan ambisi, kekuasaan, pencitraan, dan bahkan manipulasi. Tetapi jalan Yesus—jalan paradoks—maka kita bisa melihat kontras yang tajam sekaligus pengharapan baru tentang bagaimana politik bisa dijalankan secara berbeda. Jika semua orang berpikir kekuatan itu ditunjukkan lewat kekuasaan, Yesus menunjukkan kekuatan melalui kelemahan.

Dalam politik, kekuasaan sering jadi tujuan akhir—kadang dicapai dengan segala cara. Tetapi Yesus justru menanggalkan kuasa-Nya demi melayani. Yesus, melepaskan kekuasaan demi mengangkat yang tertindas. Seorang pemimpin yang benar-benar mau melayani, bukan sekadar duduk di kursi kekuasaan, akan jadi “aneh” di tengah budaya politik kita—tetapi itulah yang dibutuhkan. Politik di Indonesia sering dipenuhi pencitraan—dari gaya hidup “merakyat” yang dibuat-buat, sampai narasi kepedulian yang tidak diikuti tindakan nyata. Tetapi Yesus hidup dalam keaslian total. Ia tidak membungkus diri dengan topeng, bahkan rela “tidak populer.” Keaslian yang tidak selalu tampak “menjual,” tapi penuh kuasa dan pengaruh sejati.

Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya—simbol paling dalam dari pelayanan. Di politik Indonesia, jabatan sering kali dianggap sebagai alat untuk dilayani, bukan untuk melayani.

Makin tinggi posisi, makin dalam kerendahan hati dan pengorbanan. Bayangkan pejabat yang benar-benar mau “membasuh kaki rakyat”—mengutamakan kepentingan umum, hadir saat krisis, dan hidup sederhana. Kenyataanya politik kita sering penuh balas dendam. Yang kalah jadi oposisi yang penuh kebencian. Yang menang sering menggunakan kekuasaan untuk menghabisi lawan. Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Membangun relasi, bukan membalas luka.

Yesus memilih jalan salib—menderita demi yang benar. Politik kita cenderung menghindari penderitaan, memilih yang aman dan populer. Jalan kebenaran bisa menyakitkan, tetapi itulah jalan hidup. Pemimpin yang berani melawan korupsi, memperjuangkan keadilan meskipun tidak menguntungkan secara politik—itulah pemimpin yang menempuh jalan Yesus. Jalan Yesus memang tampak tidak masuk akal tetapi justru di situlah kekuatan transformatif-nya. Indonesia tidak butuh lebih banyak politisi yang pandai berbicara, tetapi pemimpin-pemimpin yang berani hidup dalam paradoks Kristus: rendah hati, melayani, jujur, dan penuh kasih.(Dr. Pramudianto, Teolog, Coach dan Dosen FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X